Selasa, 01 Desember 2009

Kisah Tiga Orang

Berikut aku kisahkan tiga orang yang sungguh membuat aku merasa beruntung pernah ketemu dengan mereka, tiga orang yang menjadikan aku belajar tentang arti penting respek dan kejujuran, dan sikap rela melepas.

Tentang anak kecil yang baik hati

Suatu siang pergi ke rumah salah seorang teman. Beliau sudah berkeluarga, dan mempunyai seorang anak perempuan, berusia 6 tahun. Beliau orang yang sangat sederhana, bekerja keras dengan keliling memasarkan barang-barang plastik, seperti sandal, perabotan plastik dll. Hanya bermodalkan motor, rute luar kota bukanlah hal sulit, selalu ditempuh. Rumah yang ditanggalinya pun masih mengontrak.

Obrolan siang itu, aku lakukan sekedar untuk mempererat persaudaraan semata. Apalagi anak perempuannya adalah muridku di les-lesan. Kejutan terjadi ketika berpamitan pulang, anak perempuan itu memberikan coklat kepadaku :

“Om, nih coklat buat Om

“wuah, terimakasih, kamu baik hati”

“ iya Om, aku punya dua coklat, satu untukku, satu untuk Om, ini coklat kesukaanku, enak lho..”

Aku terhenyak. Setahuku dia masih punya beberapa makanan dikantongnya. Kita yang merasa dirinya dewasa, sering melakukan pemberian, berdana, berderma atas dasar alasan kebaikan. Namun, jarang ditemukan yang membagikan kesenangan kita, yang membagi sebagian yang “melekat” pada kita. Memberi sebenarnya bukan semata-mata berbuat baik, namun adalah latihan melepas, melepas ego kita. Kali ini aku ditunjukkan bagaimana anak kecil melepas kesenangannya untuk dibagikan, meski dengan kondisi yang sebenarnya tidak menguntungkan.

Kejadian di warung makan

Kejadian kedua adalah ketika makan siang pada suatru hari. Di warung makan ini, pembeli mengambil dulu sesukanya kemudian di bawa ke kasir, setelah membeyar, barulah menikmati makannya

Lagi mendapat dua cendok, kasir itu mendatangiku :

“Maaf mas, tadi salah hitung, kembalian dari kami kurang, ini kurangnya, sambil memberikan 4 lembar ribuan.”

Tentu saja aku kaget, betapa tidak, toh aku bukan pelanggan tetap warung itu, dan gak hafal harga-harga makanan. Pembayaran yang diawal pun sebenarnya menurutku wajar. Aku sama sekali tidak tahu kalau telah membayar lebih. Namun dengan kejujurannya, Ibu itu telah mengembalikan kelebihannya.

Teriakan Penjual Bensin

Setiap seminggu sekali, aku melewati jalan berliku dan menanjak di sekitar Merapi- Merbabu untuk urusan tugas. Karena kurang persiapan, motorku kehabisan bensin dan terpaksa beli bensin eceran untuk motorku, karena memang tidak ada SPBU di daerah itu.

Penjualnya adalah remaja putri, putus sekolah. Setelah proses pengisian berlangsung, aku menyerahkan sepuluh lembar ribuan, sesuai harganya.

Begitu aku mulai jalan, penjual itu teriak, “Mas.. uangnya kelebihan”

Aku balik, dan dia kemudian menyerahkan selembar uang ribuan, lagi-lagi aku ketemu dengan sikap kejujuran. Kalaupun dia diam, aku juga tidak akan tahu kalau uangku berlebih. Jelas ini adalah kejujuran yang tidak dipaksakan.

Tiga orang tersebut, menunjukkan sikap kejujuran. Memberikan aku pelajaran. Mereka, yang bahkan bukan siapa-siapa, orang-orang biasa, menumbuhkan rasa optimisku bahwa kejujuran itu masih bisa dilakukan. Di tengah krisis negara akan kejujuran, ketika orang-orang yang seharusnya menjadi teladan justru dipertanyakan sikap dan integritas akan kejujurannya, orang-orang itu telah menunjukkan secara langsung apa itu kejujuran. Semoga saja kejujuran orang-orang biasa itu tidak dianggap polos dan dimanfaatkan oleh orang lain, sehingga yang jujur akan ajur, akan hancur.

Biarlah yang makmur ada pada mereka yang jujur.

Jumat, 23 Oktober 2009

Ketika Pakdhe Karmin Berdoa

-->
Berdoa adalah satu kegiatan untuk menghambakan diri. Ada orang yang berdoa untuk menguatkan diri dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Ada juga orang yang berdoa untuk mengharap agar mendapat sesuatu, mendapatkan apa yang diharapkan, mengharapkan mendapat kemurahan-Nya .
Ketika ingin menjadi sesuatu, maka orang banyak yang menyandarkan dengan doa. Termasuk ketika ingin menjadi sabar. Ketika menghadapi begitu banyak masalah yang menguras emosi, maka orang akan berucap “Ya Tuhan, berikanlah kami kesabaran”. Doa terucap dengan keinginan untuk menjadikan kita orang yang lebih sabar.
Aku punya tetangga, yang kebetulan juga tetangga sawah. Meski rumahnya agak jauh dari rumahku di kampungku, namun sering jumpa ketika di sawah, karena sawah kami bersebelahan. Pakdhe Karmin biasa aku memanggilnya, tak lebih seorang tua, yang selalu bersenyum. Secara status, beliau bukanlah siapa-siapa, namun beliau dijadikan contoh dalam hal sabar. Orang dikampungku akan mengidealkan beliau dalam hal kesabaran, sehingga tak jarang dalam doanya bertambah “Ya Tuhan, berilah kesabaran seperti yang Engkau berikan kepada Pak Karwin”
Pada suatu waktu, aku terlibat dalam obrolan dengan beliau. “Pakdhe, ajari aku berdoa yang benar,” kataku ketika berjumpa beliau di gubug sawahnya. Sengaja aku menjumpainya, demi kesabaran yang ingin aku miliki.
“Ada apa anak muda, sepertinya sedang bermasalah, tiba-tiba bicara doa”
“Tidak Pakdhe, aku hanya ingin menjadi sabar, Pakdhe adalah orang tersabar yang aku kenal, ajari aku berdoa yang benar agar di beri kesabaran oleh-Nya.“
Pakdhe Karwin nampak tersenyum, menatapku tajam, kemudian berkata “ kamu salah orang”
“Salah orang gimana Pakdhe, Pakdhe adalah orang tersabar yang aku kenal”
“Kamu salah orang, aku tidak pandai berdoa” wajahnya tiba2 agak serius
“Aku tidak pandai berdoa, engkau pun semesthinya tahu kalau aku jarang terlibat dalam urusan keagamaan, maaf aku tak bisa membantu bagaimana berdoa uintuk meminta kepadanya agar diberi kesabaran.“
“Aku dalam kebingungan, namun aku mencoba menghormati apa Pakdhe karmin. Mungkin beliau sedang tidak berkenan. Lain waktu mungkin beliau akan mau mengajarkan aku tentang doa kesabaran.”
“Tapi anak muda, aku ada saran, meski mungkin salah, menurutku, kesabaran itu tak bisa dilakukan dengan meminta, kesabaran itu hanya akan didapat dengan latihan. Tuhan tidak bisa memberi kesabaran”
“Maksudnya Pakdhe?”
“Kesabaran hanya akan didapat dengan latihan. Aku tidak tahu kenapa orang menyandarkan keinginan untuk bersabar dengan meminta kepadaNya. Sementara aku ingat terus apa yang diajarklan oleh Almarhum Bapakku. Kata Bapakku, ada satu tatanan alam, ada satu tatanan keilahian, ada satu tatanan ke-Tuhanan, yang mengatur segalanya. Seperti tanaman yang tumbuh mengikuti musim, maka aku sebagai petani harus merawat tanaman seperti yang tatanan itu kehendaki.”
Beliau melanjutkan “Anak muda, tatanan keilahian itu menunjukkan bahwa kesabaran itu didapat dengan latihan, eling, terus diberikan, setiap ada masalah yang menuntut untuk kita sabar, maka berikanlah kesabaran, begitulah setidaknya kearifan yang almarhum Bapakku ajarkan. Bapakku tidak pernah mengajarkan untuk berdoa meminta sabar, namun berbuat, karena kesabaran akan didapat dengan laku dan latihan. Ngelmu itu kalakone kanthi laku ora yang Jawa bilang, Ilmu itu didapat dengan latihan dan tindakan. Mungkin itu salah karena berbeda dengan orang kebanyakan, namun siapa tahu bermanfaat.”
Obrolan lama yang ingin aku kenang kembali lewat tulisan ini, untuk menyampaikan bahwa meski menurut Pakdhe Karmin beliau tidak bisa berdoa, namun aku akui bahwa apa yang beliau sampaikan adalah cara berdoa yang luar biasa.

Sabtu, 19 September 2009

Paku yang Tertancap


Cerita ini sudah lama saya dapatkan. Kalau tidak salah saya membacanya pada sebuah majalah anak-anak sewaktu masih SD. Lama cerita ini mengendap dalam pikiran saya sampai kemudian teringat kembali ketika mendengar irama yang dihasilkan tukang kayu yang bekerja memperbaiki rumah tetangga, sewaktu memaku. Ingatan akan cerita ini kembali muncul, setidaknya demikianlah yang saya ingat.

Pada suatu waktu, hiduplah seorang kakek dengan cucunya. Cucunya ini sangat nakal sehingga sering membuat keonaran. Setiap saat dinasehati, namun selalu diulang lagi. Sampai pada satu ketika, si kakek mempunyai ide, untuk melatih cucunya dengan agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Si kakek meminta cucunya, apabila membuat kesalahan, kenakalan, ataupun kejahatan, maka diharuskan menancapkan paku di tiang kayu belakang rumah. Apabila cucunya berbuat kebaikan, maka paku tersebut boleh dicabut. Demikian seterusnya, maka si cucu tiap hari kebanyakan memaku terus, karena masih sering berbuat keonaran dan kesalahan. Hanya sedikit paku yang dicabut, karena memang hanya sedikit kebaikan yang bias dia lakukan.

Melihat jumlah paku yang makin banyak, cucu tersebut manjadi panik, sehingga dia mulai mengubah sikapnya, untuk melakukan banyak kebaikan. Sedikit demi sedikit paku-paku yang telah tertancap berkurang, hingga pada suatu ketika tiang kayu tersebut bersih dari paku.

Si cucu menunjukkan hal tersebut kepada kakeknya. Kakeknya tentu saja tersenyum senang namun tetap mengingatkan kepada cucunya, bahwa tiang tersebut tetap menunjukkan bekas paku, meski pakunya sudah tercabut. Tiang kayu tersebut tetap tidak bisa pulih seperti sediakala.

Cerita itu mungkin sederhana, namun bagi saya tidak. Cerita tersebut menggambarkan bahwa setiap kesalahan, kejahatan, ketidakbaikan, memiliki efek yang panjang, dan kita tidak dengan mudah melarikan diri, atau menghindar dari akibatnya. Bhakan ketika kita sudah melakukan begitu banyak kebajikan saja, akibat dari kesalahan dan kejahatan kita tetap harus kita tanggung.

Setiap bentuk perbuatan akan menimbulkan akibat, hal ini adalah hukum universal yang berlaku dimana saja, lintas waktu, lintas batas. Tak akan ada yang bisa menghindar dari akibat perbuatan kita, entah baik, maupun buruk. Jika demikian maka alangkah pentingnya kita menjadi waspada, terjaga dari setiap niatan kejahatan, sekecil apapun. Karena setiap bentuk kejahatan pasti akan berakibat yang bahkan tidak akan bisa dihindari meski kita sudah bertobat, atau kita sudah menjadi suci dengan kebajikan kita.

Sangat naïf juga jika kita menyandarkan pada ampunan. Setiap kesalahan kita kemudian meminta ampunan kepada Yang Maha Kuasa. Sikap yang demikian akan membiasakan kita pada kesalahan-kesalahan karena kita akan berkesempatan meminta ampunan. Akibat dari satu perbuatan tak bisa dihindari, hasil dari kejahatan juga sangat kompleks. Apakah ketika kita meminta ampunan akan mampu mengembalikan keadaan seperti semula? Apakah akan menghindari dari sikap permusuhan dan kebencian dari pihak lain? Apakah akan bisa mengembalikan kerugian spiritual dan duniawi dari pihak yang m,enjadi objek kesalahan dan kejahatan kita? Nyatanya tidak. Meminta ampunan hanyalah sarana untuk mengingatkan niatan kebaikan kita, tapi tak akan bias menghilangkan bekas paku dari kejahatan kita.

Cerita sederhana tentang kakek dan cucunya tersebut, adalah gambaran sederhana dari sikap kita, pikiran kita, ucapan kita, yang semesthinya harus terjaga setiap saat. Sesepuh di kampung saya berkali-kali mengatakan, sakbeja-bejani wong kang lali isik beja wong kang eling lan waspada. Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada.

*ketika sadar kata maaf saja tak cukup untuk kesalahan, mohon maaf lahir batin...

Pucung itu Menjadi Pocong


Bapa pucung cangkemmu marep manduwur

Sabamu Ing sendang

Pencokanmu lambung kiri

Prapteng wisma si pucung muntah kuwaya

Bapa pucung, mulutmu menghadap ke atas

Perginya ke sendang

Bertengger dipinggang kiri

Sampai rumah si pucung memuntahkan air

Satu bait tembang diatas adalah macapat, sebuah bentuk sastra yang unik yang dikenal dari Jawa, yang dibedakan berdasarkan aturan jumlah baris, jumlah suku kata, dan vocal terakhir. Ada banyak bentuknya, salah satunya adalah pucung, seperti yang tembang tertulis diatas, yang mengikuti aturan 12u,7a,8i dan baris terakhir 12a. Selain sebagai bentuk sastra, macapat ini biasa didendangkan, bisa dinyanyikan, sehingga selain sastra sering juga dikenal dengan tembang macapat.

Tembang pucung diatas sering dinyanyikan bapak atau ibu saya menjelang tidur, ketika saya memasuki TK, kemudian saya harus menebaknya apa yang dimaksud dari tembang tersebut. Iya, karena tembang tersebut merupakan bentuk tebakan dalam wujud tembang. Dengan lantang kemudian saya akan berteriak, untuk menjawabnya, yaitu jun (alat untuk ngangsu, ngambil air dari kali, dari tembaga atau kuningan), demikianlah saya mulai mengenal bentuk satra dan tembang jawa lewat pengantar tidur.

Ingatan-ingatan tentang keluhuran bentuk sastra dan tembang, yang didasarkan atas keluhuran budi dan ketinggian budaya peradaban leluhur itu selalu membawa saya ada satu kebanggaan betapa beruntungnya saya dilahirkan sebagai anak bangsa yang berbudaya.

Namun segala memori, idealisme tentang keluhuran budaya itu sepertinya adalah satu keanehan. Betapa tidak, bahkan di Jawa sendiri sekarang orang sudah banyak yang tidak lagi mengenal apa itu pucung dan apa itu macapat. Orang hanya mengenalnya sebagai pernah mendengar, bukan sebagai bagian dari budaya dan peradabannya. Bukankah kebudayaan adalah hasil akal budi yang terekpresi? Jika itu adalah budaya Jawa, mesthinya orang jawa akan mengenalnya dan menjadikannya sebagai media ekspresi perasannya.

Kebanggaan akan keluhuran budaya macapat itu tak lebih hanya kebanggaan karena memiliki, bukan memakainya, padahal sesuatu yang hanya dimiliki, tidak dirawat, tidak digunakan pada satu titik pasti akan rusak dan hilang dari ingatan, berbeda dengan sesuatu yang sering kita gunakan. Sekedar bangga tanpa menggunakan sebetulnya sedang melupakan tanpa mau mengakuinya.

Pada titik yang paling nakal, saya kemudia berpikir, bahwa lebih baik keluhuran budaya nenek leluhur semacam macapat ini digunakan meski harus dibawa oleh bangsa lain, sepanjang mereka tahu kalau budaya itu dari sini, dari tanah yang diwariskan leluhur saya, yang telah dipenuhi dengan kebudayaan itu sendiri. Itu jauh lebih baik agar macapat dan pucung, serta budaya-budaya yang lain tetap memancarkan keluhurannya, tetap memberikan pengabdian pada kemanusiaan dan keharmonisan alam, dua hal yang menjadi cirri khas budaya timur.

Sungguh saya tadinya tak membayangkan, bahwa tembang pucung dan tembang macapat lainnya, sekarang sedang dijadikan pocong oleh generasi yang seharusnya mewarisinya, saya tak tahu, apakah benar-benar sudah mati terus dipocong untuk kemudian dikubur, atau sekedar mati suri mencari tuan baru yang lebih mengharagai keluhurannya. Pucung itu telah menjadi Pocong.

Segelas Teh Pahit




Pernahkah anda menjumpai minuman yang tak sesuai dengan keinginan anda? Semisal ketika anda mengharapkan teh yang manis, ternyata anda mendapatkan teh tawar dan pahit. Tentu saja hal ini menjadikan kita tidak nyaman. Sering kita kemudian menyalahkan teh tawar sebagai penyebab ketidaknyamanan tersebut, benarkah demikian?

Ketidaknyamanan itu tidaklah disebabkan oleh teh pahit tersebut, tetapi karena ketidak cocokan antara keinginan kita dengan apa yang kita dapatkan. Ketika kita mengharapkan teh manis, kita justru mendapatkan teh tawar. Kalau teh tawar yang menyebabkan kita tidak nyaman, terus kenapa orang lain yang mendapatkan teh tawar ada yang senang? Iya karena orang tersebut menginginkan teh tawar dan mendapatkan teh tawar. Ketidakcocokan antara keinginan dan apa yang kita dapatkan itulah yang menyebabkan kita tidak nyaman dan tidak happy.

Bagaimana jika kita mendapatkan kasus tersebut? Ada dua jalan yang bisa kita ambil. Pertama ubah teh tersebut menjadi seperti keinginan kita, dengan menambah gula atau menggantinya dengan minuman teh yang manis. Dengan demikian kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan, dan menjadi senang. Bagaimana jika kita tidak bisa mengubah teh tersebut seperti yang kita inginkan? Masih ada jalan yang kedua, yaitu kita harus mengubah keinginan kita, mengubah arogansi pikiran kita yang mengharuskan mendapat keinginan kita, dengan cara menerima, menyadari, nyatanya yang ada adalah teh pahit. Sepanjang kita terus-menerus mengingat keinginan kita tentang teh manis, dan faktanya kita mendapat teh pahit maka kita akan tidak nyaman, tidak senang. Karena penyebab ketidaknyamanan tersebut adalah keinginan kita, maka jalan yang diambil adalah mengendalikan keinginan kita, mengubah keinginan kita, menerima realitas yang kita dapatkan.

Bukan sekedar teh, dalam hidup ini kita akan sering mendapatkan bahwa antara keinginan dan kenyataan yang kita dapatkan tidaklah sama. Ketika itu terjadi kita menjadi tidak nyaman, tidak senang. Semakin kita ingin, semakin menyakitkan, semakin tidak menyenangkan dan menderita. Demikian juga, ada dua tawaran jalan yang bsia diambil. Pertama ubahlah agar sesuai keinginan kita. Dalam konteks duniawi kita berhak untuk bersuaha mengubah agar sesuai keinginan kita. Namun hal ini tidaklah mudah. Meski sudah banyak berusaha, kita masih juga mendapatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Jika itu yang terjadi maka kita harus memotong akar ketidaknyamanan itu, yaitu keinginan kita. kitalah yang harus berubah dengan lebih menerima realitas.

Selamat menikmati teh pahit anda!!


Minggu, 26 Juli 2009

Berawal dari sebuah buku kucel [Ulang tahun ke-11 Detikcom]

Internet? Hehehe… Bagiku internet adalah sebuah hal yang menjadikan Aku melihat dunia baru, yang memberikan Aku pada pembelajaran baru. Menurut teman Aku yang sok sosiologis, saya mengalami transformasi budaya melalui internet.

Istilah internet mulai terdengar ketika Aku sekolah di SMA, di Kota Kabupaten Temanggung. Meski demikian, istilah tersebut ya sekedar istilah, apa, seperti apa, untuk apa itu internet, belumlah jelas. Jujur, Aku sempat berpikir, kalau internet itu mungkin bisa saja menemukan kambing yang hilang,.

Akhirnya perjumpaan dengan internet secara sungguhan, terjadi ketika Aku kuliah di Jogja. Awalnya juga tidak begitu interest dengan internet. Bahkan ketika teman-temanku sibuk mencari referensi melalui internet, Aku masih bingung, masih lebih enjoy berkutat dengan buku-buku yang tebal di perpustakaan.

Ketika Aku kesulitan mendapatkan referensi, kemudian temanku menyarankan untuk gugling, Aku hanya mengiyakan, sambil membayangkan apa itu gugling. Aku lebih suka nitip ke teman kost untuk mencarikan sesuatu, tanpa Aku merasa penting untuk belajar internet.

Meski demikian karena obrolan tentang gugling, email, donwload dll sering dilakukan baik di kost, di kampus, di angkringan, bahkan dimana saja, dorongan untuk mencoba internet makin besar. Namun, karena Aku merasa belum merupakan kebutuhan, maka baru berhenti pada satu keinginan saja.

Tak lama setelah itu semua, saya akhirnya harus ketemu dengan internet. Salah seorang dosen memberikan tugas, dan tugas makalah tersebut harus dikumpulkan melalui email, diuhhhhh.

Nah, dengan bekal sering nguping obrolan teman kost atau kampus atau teman angkringan dekat kost tentang internet, Aku mencoba memberanikan diri untuk masuk ke warnet. Masuk, disambut dengan senyum manis mbak operator warnet, membuat sedikit agak nyaman.

Masuklah ke box internet. Kemudian menatap monitor dengan tajam, sambil deg-degan, sekitar 10 menit gak ada reaksi, padahal biling tetap jalan. Kalau aku sih lebih suka pake mozila untuk browsernya. Aku inget kata itu dari seorang temanku. Ingat hal tersebut mendorong saya untuk mengklik mozila yang ada di dekstop. Kemudian setelah terbuka aku ketik “email” dan tentu saja tidak menghasilkan apa-apa. Masih belum kapok, akhirnya aku tulis “gugling” hasilnya juga nihil. Setelah bingung dan keringetan berkepanjanagn meski dalam ruang ber-AC, akhirnya aku putuskan keluar, dan dengan sisa PDnya, aku bilang “alamatnya lupa”, kepada mbak OP warnet tersebut.

Di kost aku berniat menemui salah satu kakak kost yang emang hoby banget ke warnet, untuk membantu masalahku tersebut. Sayang sekali Beliau sibuk, sementara teman kost yang lain malah menertawakan ketika aku cerita masalahku.

Dalam sedikit keputuasaan dan kebingungan itu, aku masuk ke kamar salah kakak kost yang tadi menertawakan aku paling kencang. Untuk berniat tidur, karena kamarku malah dipake buat main poker oleh teman-teman kost. Sambil berbaring tersebut aku merunut tumpukan buku di rak bukunya, sampai mataku tertuju pada buku yang agak kumal. Buku tersebut aku ambil, dan bertuliskan, petunjuk membuat dan menggunakan email secara praktis dan cepat. Aku buka, dan aku menemukan kalau petunjukknya lumayan jelas, lengkap dengan gambar tampilan setiap langkah dalam membuat email dan menggunakannya.

Buku aku ambil dengan tenpa ijin tentu saja, terus segera menuju warnet lagi. Kali ini dengan lebih percaya diri. Dalam box, semua berjalan lancar, petunjuk dari buku kumal itu sangat mujarab. Tes kirim email juga berjalan dengan baik, ditambah dengan sedikit penjelasan dalam buku tersebut tentang gugling, saat itu itu juga aku bisa meninggalkan gugling menjadi google. Tiga jam aku habiskan saat itu juga di warnet hanya untuk utak utik karena mulai menemukan keasyikan bergogle.

Dari buku kumal tersebut akhirnya Aku, memasuki beneran internet. Mulai kemudian mengenal berbagai hal yang ditawarkan oleh internet. Tentu dengan belajar sendiri, sering mencoba, dan berani salah. Proses belajarku tentang internet hampir seluruhnya karena mencoba sendiri.

Hasilnya, aku memasuki satu hal baru yang sangat berpengaruh pada hidupku, saya belajar banyak. Melalui diskusi-diskusi, jejaring sosial, semua mengajarkanku untuk melihat cara pandang yang berbeda terhadap satu hal. Aku mulai bisa melihat kebiasaan, nilai-nilai, cara pandang, yang berbeda dan itu banyak menambah wawasan, serta makin mendewasakan aku.

Transformasi budaya yang diceritakan temanku melalui internet beneran terjadi. Karena kini aku masuk dalam satu dunia baru yang tadinya tidak aku kenal, dengan nilai, aturan etika, yang berbeda dari yang selama ini aku kenal. Dengan menjadi pengguna internet, maka aku sekarang telah masuk dalam dunia dengan tatanan baru, dunia maya.

Jika hendak berterimakasih atas segalanya, maka tentu saja aku berterimakasih pada semua kondisi tersebut. Semua obrolan tentang internet, dosenku yang mengharuskan saya beruinternet, tertawaan teman-teman kost, dan tentu saja buku kumal tentang petunjuk membuat dan menggunakan email. Buat pemilik buku kumal tersebut, setelah selesai tulisan ini, aku cc-kan ke emailnya saja, sebagai ucapan terimakasihku.

Meski demikian masih ada ganjalan tentang dunia internet terhadap pribadiku. Sebagai orang udik, yang ndeso, yang jauh dari peradaban internet, aku sering tertegun ketika pulang kampung dan bertemu dengan teman, tetangga dan warga kampungku. Aku dan mereka kadang serasa terpisahkan dalam dunia yang sangat jauh ketika berdiskusi atau ngobrol dalam satu hal. Pernah dalam satu kejadian, ada lawakan tentang Facebook di TV, aku tertawa ngakak, namun beberapa teman yang nonton bareng tidak menunjukkan ekpresi apapun. Aku akhirnya tersadar, ada yang berbeda, ada yang terpisah antara aku dan mereka dengan internet.
Berharap sekali, aku bisa berbagi tentang internet kepada mereka. Aku telah mendapatkan banyak manfaat dari berinternet, dan mereka warga kampungku juga berhak mendapatkan manfaat yang sama dari internet. Ada yang bisa membantu harapanku?

Jumat, 10 Juli 2009

Jangan Menunda Kebaikan


Seorang sahabat pernah merasa menyesal dengan apa yang dia lakukan. “Kami sekeluarga berencana menjenguk sore itu di rumah sakit, namun entah mengapa kami kepikiran untuk menunda besuk sorenya saja, sekalian ke toko buku, belum kesampaian kami menjenguk, dia telah meninggal” demikian cerita penyesalnnya

Sahabat tersebut menunda untuk menjenguk seorang familinya yang sedang sakit, namun ketika pikiran itu muncul, dia memilih untuk menundanya, dan akhirnya tidak mendapat kesempatan untuk menjenguknya karena keburu meninggal.


Dengan kejadian yang persis sama, baru-baru ini saya mengalami sendiri, menunda untuk menjenguk seorang temang yang sakit, dan akhirnya tidak berkesempatan menjenguk karena dia keburu meninggal. Aneh memang, bahwa kadang kita menunda untuk melakukan satu kebajikan meski itu sudah kepikir dengan jelas.


Sewaktu saya KKN (Kuliah Kerja Nyata), saya pernah bertanya kepada warga kampung tempat saya KKN, apa tidak kepikiran untuk kerja bakti menguruk jalan-jalan yang berlubang? Toh jika semua hadir nggak sampai siang hari juga sudah kelar. Melalui kepala kampung yang diamini oleh ampir semua warga, dijawab “ Kami sudah lama kepikiran tapi entah kapan bisa terlaksana” hehehe


Kadang kita bermain-main dengan waktu dalam melaksanakan kebajikan. Sering sekali kita sudah memikirkan hendak melakukan sesuatu kebaikan, tapi kita menunda dengan alasan-alasan lebih baik besuk, mungkin kesempatan lain, atau masih ada hari esuk.


Bermain-main dengan waktu dalam melaksanakan kebajikan sungguh berbahaya. Mengapa? Karena sebetulnya kita tidak pernah tahu kapan waktu terbaik kita berbuat baik. Kita tidak pernah tahu apakah akan ada kesempatan lagi setelah detik ini untuk berbuat baik, karena hidup kita sampai kapan atau kondisi dunia seperti apa setelah detik ini, kita tak pernah tahu.


Pada kasus apa yang yang sahabat saya dan saya alami, mungkin itu adalah pembelajaran bagi kami untuk tidak menunda kebajikan yang bisa dilakukan saat ini, dan untuk tidak mengulanginya lagi dikemudian hari. Namun bagaimana jika justru kamilah yang mengalami maut? Tentu kami tak ada lagi kesempatan berbuat baik.


Waktu dan kesempatan itu tidak pernah terulang, itulah sebabnya berbahaya jika kita terus menerus berpikir untuk menunda kebaikan dengan berpikir masih ada kesempatan lain. Mungkin kita bisa berpikir untuk menunda satu bentuk kegiatan kebaikan, wujud kegiatan, tapi jangan sampai kita menunda kebaikan itu sendiri.


Sedangkan setiap kesempatan kita, setiap saat, setiap detik kita terus menerus bisa melakukan kabaikan. Selalu ada kesempatan untuk melakukan kebaikan. Bersikap ramah dan simpatik terhadap semua orang tentu bisa dilakukan kapan saja. Berpikir dan berharap terhadap kebaikan, kesuksesan dan kebahagiaan semua makhluk bisa dilakukan kapanpun. Tidak membenci siapapun bisa dilakukan kapan saja.


Menghormati orang tua, berderma kepada orang membutuhkan, tak harus menunggu waktu-waktu khusus, karena kita berpacu dengan waktu. Ada banyak sekali bentuk kebaikan yang bisa dilakukan setiap saat, tinggal disesuaikan dengan kondisi kita saat itu. Namun sebetulnya tak ada alasan untuk mengatakan kalau kita belum ada kesempatan untuk berbuat baik.


Seorang Guru pernah bertanya kepada muridnya, “Apakah Kamu sering merenungkan kematian?”

Murid tersebut menjawab, “Tujuh kali dalam sehari, bagaimana dengan Guru?”

“Setiap saat Saya merenungkan kematian, sehingga saya tahu bahwa kematian bisa datang setiap saat, sehingga setiap saat kita harus berbuat baik.” Jawab Sang Guru


Jangan tunda kebaikan kita, kebaikan apapun yang bisa kita lakukan saat ini, detik ini, ..

Senin, 06 Juli 2009

Berakhirnya era Dukun Bayi di Kampungku



Setidaknya, sepanjang yang aku ingat, belum ada pemakaman yang sebesar ini di kampungku. Bukan dilihat dari megahnya pemakaman, atau mewahnya pemakaman, tapi jumlah kehadiran pelayat. Antrian mobil yang berderet hingga lebih dari 2 km, juga iring-iringan pelayat mengantar jenazah ke makam yang nggak habis-habis. Konon beberapa kijing (penanda makam seseorang) banyak yang rusak akibat terinjak-injak pelayat yang ikut mengantar jenazah ke makam.


Beliau yang meninggal bukanlah mantan pejabat, atau orang “penting”, bahkan Beliau seorang buta huruf. Meninggalnya pun bukan karena kejadian tragis yang menjadikan orang antusias ke pemakamannya, meninggal karena wajar, karena usia tua, teramat tua bahkan karena mencapai lebih dari 100 tahun. Namun berkat jasanya, kami semua warga kampung, dan juga kapung sekitarnya, dapat lahir dengan selamat dan tumbuh dengan sehat. Beliau adalah dukun bayi, dan sepanjang hidupnya Beliau abdikan penuh untuk kesehatan dan keselamatan generasi kampung kami dan sekitarnya.


Ninek Muntheng, atau Biyung Muntheng, demikian kami biasa memanggilnya. Beliau adalah Ibu dari seluruh warga kampung, yang kepadanya kami semua merasa pantas melakukan penghormatan atas kehadirannya. Kepada beliau kami semua merasa bersalah apabila tidak sungkem di hari lebaran.


Sejak jaman kakekku masih anak-anak, Beliau sudah mengabdikan diri sebagai dukun bayi. Kakekku sendiri menurut pengakuannya sudah merasakan pijitan dan urutan serta ramuan dari Ninek Muntheng. Jadi, saat ini tidak ada satu pun orang asli kampungku yang tidak mendapat sentuhan dari Ninek Muntheng.


Keahliannya menolong orang melahirkan tak diragukan. Menurut pengakuan para Ibu yang sempat aku tanya, seberapa hebatnya Beliau, mereka menjawab, bahwa begitu sentuhan tangan Ninek Muntheng nyampe perut, maka akan terasa adem, tenang dan seperti mendapat tenaga tambahan untuk melahirkan.


Keahlian memijat anak-anak juga luar biasa. Menurut ninek dulu, bayi dan anak-anak itu urat-uratnya belum kuat, tapi mereka aktif. Jadi perlu secara rutin dilakukan perawatan dengan cara diurut. Tentu saja urutannya menggunakan minyak-minyak bayi, atau ramuan-ramuan yang aku gak pernah tahu apa isinya. Ninek juga selalu hapal ramuan-ramuan yang digunakan untuk Ibu-Ibu melahirkan atau bayi dan anak-anak. Ramuan mana yang untuk penambah ASI, yang untuk nafsu makan anak, atau bagi yang sedang melakukan nyapih (menghentikan ASI bagi bayinya jika sudah tiba waktunya), diingatnya dengan baik.


Namun diluar keahlian itu, sebenarnya yang merasa kami kagum adalah sikap pelayannnya. Ninek akan merawat bayi, dari melahirkan hingga dirasa cukup. Tiap hari Ninek akan mendatangi rumah bayi-bayi yang masih dalam masa perawatannya. Hebatnya, itu dilakukan karena tanggung jawab. Bukan karena uang. Sama sekali Ninek tidak memungut bayaran dari apa yang dilakukan. Ninek hanya kan mendapat seperti sesulih atau anteran disaat-saat tertentu, Biasanya berupa pakaian atau Beras, Gula teh, yang diberikan menjelang Lebaran, atau kapanpun orang mau. Tak sebanding dengan wira-wiri, tenaga, atau bahan-bahan perawatan yang Ninek lakukan. Untuk penghasilannya Ninek beternak ayam kampung, tidak berharap dari anteran. Ninek juga selalu siap kapan saja jika ada yang membutuhkan, bangun tengah malam, di jemput ketika sedang sibuk, adalah sesuatu yang biasa buat Beliau.


Karena apa yang dilakukan tersebut, maka mungkin tidak ada seorangpun di kampungku yang belum pernah ngompol dipangkuannya. Semua mendapat perawatan dari beliau. Bagi Aku, ada beberapa hal yang masih selalu aku inget. Diantaranya adalah adalah sewaktu aku dijewer karena ngumpetin sandal Beliau, ketika datang ke rumahku untuk merawat adik bayiku (waktu itu). Kemudian sewaktu aku teriak teriak “lampirrrr-lampirrr” sambil menahan sakit sewaktu dipijet beliau karena kecethit. Sampai kemudian aku mendapat “kutukan” dari Beliau, gara-gara jagung yang dia jemur aku ambilin dikit-dikit untuk pakan ayam yang lewat (pura-puranya waktu itu lagi mainan jadi peternak, kekekek). Gara-gara itu aku dituntun sambil dimarahi Beliau, dibawa ke Bapakku, Ninek Bilang ; “ Bocah iki mbelinge ngujubilah, neng yo bocah iki sing bakal nulari wong sak desa desa ben dho dadi wong pinter, suk gedene bakal gawe mongkokke wong sakdesa” ( anak ini nalanya ngujubilah, tapi anak ini yang bakal menulari orang sedesa agar menjadi orang pandai, besuk besarnya akan membanggakan orang sedesa). Kutukan yang menurutku adalah sebuah harapan, dan entah karena kebetulan, akulah orang pertama yang kuliah dan menjadikan anak-anak di generasi berikutnya berlomba untuk bersekolah. Meski jika dibilang akan membuat bangga satu desa, aku merasa Ninek berlebihan, toh aku nggak berbuat banyak untuk mereka.


Kenangan yang tak terlupakan adalah ketika bencana angin topan melanda kampungku sewaktu aku anak-anak. Di tengah-tengah angin yang besar dan menakutkan, Ninek berteriak teriak memanggil namaku. Aku menangis ketakutan dipelukan Ibu, Bapakku keluar untuk melihat, ternyata Ninek minta tolong karena rumahnya roboh, untung saja Beliau nggak cedera sama sekali karena ketika roboh, Beliau sudah keluar rumah karena sudah merasa rumahnya nggak akan bertahan, maklum rumah bambu semata. Karena rumah kami yang terdekat, Ninek berjalan merangkak ke rumah kami.


Seperti juga warga kampung lain, Ninek memang telah banyak memenuhi memoriku. Lebaran tahun lalu, dalam kondisi tua yang lemah nya, ketika aku datang Beliau masih inget namaku dan usilku “ Walah Wiwid to, putuku sing bagus, maturnuwun yo jajanne, mengko nek mulih sandalku ojo diumpetke .. ( Walah wiwid to, cucuku yang bagus, terimakasih oleh-olehnya, nanti kalau pulang sandalku jangan disembunyikan.) mengingatkan aku pada kenakalan masa kecilku.


Kalimat terakhir yang terucap untukku, sampai kemudian berita duka itu. Berita duka yang seperti juga warga kampung lain di perantauan, merasa perlu untuk datang langsung dan pulang kampung untuk memberikan penghormatan terakhir.

Ninek Muntheng telah meninggal. Dukun Bayi, Tukang Pijet, pengobat, penyembuh atau apa saja lah namanya, yang jelas Beliau telah berjasa bagi kami. Kepada mereka yang menyangsikan keahlian seperti yang Beliau kuasai, kami merasa perlu untuk membelanya bahwa apa yang telah beliau lakukan adalah nyata, ada dan jelas bermanfaat bagi Kami. Dengan meninggalnya beliau, maka berarkhirlah era dukun bayi, masuklah era baru yang dianggap lebih modern yaitu Bidan. Semoga saja, perbedaan metode, bukan berarti sikap pelayanan seperti yang Ninek Muntheng lakukan akan hilang berganti menjadi sekedar hubungan materiil semata.

Selamat jalan Ninek…

Senin, 04 Mei 2009

Ironi Nyadran


Di daerah tempat tinggalku, di Temanggung, ada tradisi Nyadran. Nyadran intinya adalah sebuah pesta adat untuk memberikan syukur terhadap Tuhan terhadap apa yang sudah diraihnya, serta berharap terhadap perbaikan hidup dimasa berikutnya.

Nyadran ini bisa dilakukan dengan alasan yang bermacam, namun memilikik kemiripan, misalnya nyadran Kuburan, yang kemudian diikuti membersihkan makam leluhur olah para ahli warisnya, nyadran tempat2 yang dikeramatkan, nyadran mata air, atau sekedar nyadran yang disesuakain pada event tertentu, misalnya bulan agustus bersamaan dengan peringatan hari kemerdekaan RI.

Nyadran dilakukan juga berdasarkan hari tertentu pada bulan tertentu menurut kalender Jawa, misalnya Jumat Kliwon atau Jumat Pahing pada bulan Ruwah, atau hari yang lain di bulan lain berdasarkan tradisi adat masing-masing kampung.

Di kampung simbahku tinggal, terdapat tradisi nyadran Kali, nyadran untuk mata air. Sebetulnya kearifan lokal yang terjandung dari upacara ini adalah rasa syukur warga setempat terhadap mata air yang muncul, yang sangat bermanfaat terhadapa hidup warga kampung.

Namun sayang sekali, rasa syukur itu selalu terjebak pada upacara2 ritual semata, dan kemudian lupa kearifan yang lain. Nyadran hanya dipandana sebagai seuatu keharusan adat dan tradisi tanpa diimbangi dengan pengetahuan tentang alam yang cukup.

Akibatnya, tiap tahun nyadran dilakukan, namun perusakan alam jalan terus. Pohon2 besar2 bertumbangan, digantikan tanaman yang dianggap lebih produktif. Bahaan areal sekitar mata air juga tidak dilarang untuk didirikan bangunan beton.

Orang lupa, ritual semata tidak dapat menjawab dan melawan kodrat alam. Air, tanah, pepohonan, dan lingkungan besar memiliki hukumnya sendiri. Hukum alam, dan kita manusia semesthinya bisa menyelaraskan kepentingan hidup manusia dengan hukum alam. Jika tidak bencana tinggal menunggu waktu.

Itulah ironi dari nyadaran di kampung tempat tinggal simbahku. Nyadran tahun ini hanya berupa pesta di bekas mata air. Mata air atau tuk dalam bahasa jawa, yang tadinya melimpah dan ada puluhan, sekarang tersisa tak lebioh dari 5 mata air. Yang lain tinggal berstatus sebagai bekas mata air.

Semoga kedepan, masyarakat menjadi sadar bahwa, segala doa dan ritual apapun, dalam bahasa apapun hanya akan bermanfaat jika diimbangi dengan pengetahuan tentang Hukum alam itu. Menyeleraskan kepentingan manusia dengan hukum alam, itulah sebetulnya inti dari upacara nyadran. Jangan sampai kejadian Nyadran suatu hari nanti adalah berupa peringatan terhadap matinya kali dan mata air, hanya mendoaakan kali yang sudah mati.





Jumat, 01 Mei 2009

Resep Hidup Anti-Menderita


Cerita ini adalah cerita yang benar2 terjadi. Pelakunya adalah orang yang sangat aku kenal. Kejadiannya ketika Beliau menjadi kepala sebuah intansi pemerintahan.

Berawal dari sering ada keluhan dari para bawahannya tentang hidup. Kenapa sih hidup ini tidak memuaskan? Kenapa sih kita akan ditimpa banyak kemalangan? Bagaimana kita bisa menikmati hidup senang terus dan gak ada kemalangan?

Dengan makin seringnya obrolan tentang hidup itu, beliau kemudian menawarkan sebuah resep. Resep tentang agar hidup selalu bahagia. Maka pada suatu hari diumumkan kepada para bawahannya, siapa yang hendak mendapat resep agar hidup selalu senang berkumpul di aula.

Bukan main peminatnya, semua pegawai ikut berkumpul, bahkan hingga satpam dan petugar kebersihan, semua berkumpul menunggu “wejangan" dari beliau tentang resep agar hidup tidak pernah menderita, dan selalu bahagia.

Setelah semua berkumpul, acara pun dimulai..

"Siapa yang mau hidup di dunia ini selalu mujur, menyenangkan dan tidak ada kemalangan?"

Semua pun menjawab “sayaaaaa”

"Baiklah, ada resep untuk itu semua, pertama, jika anda semua menghendaki selau mujur, menyenangkan dan tidak ada kemalangan sedikitpun, selalu menyenangkan, maka dunia ini bukan tempat anda, gak akan di temuai di dunia ini hidup yang seperti itu"

"Kedua, semua apapun yang yang terjadi tergantung anda menyikapi, tergantung pikiran anda, mau senang atau susah, adalah pilihan hidup.. demikian, terimakasih."

Wejangan singkat itu mencerahkan bagi beberpa orang, membingungkan bagi beberapa yang lain, tetapi memang benar, jika menghendaki selau mujur, menyenangkan dan tidak ada kemalangan sedikitpun, selalu menyenangkan, maka dunia ini bukan tempat anda, gak akan di temui di dunia ini hidup yang seperti itu. Sikap kitalah yang menentukan senang dan sedih dari setiap kondisi yang kita dapatkan.

*selamat pensiun per 1 Mei 2009, hari ini kepada Beliaunya, karya anda akan tetap berlanjut di tempat yang berbeda..

Minggu, 12 April 2009

Rahib Muda dan Kopi Nimatnya




Tersebutlah di sebuah Biara atau Vihara Buddha, di tengah Hutan Thailand. Di Thailand, vihara semacam ini memang sangat banyak. Ada ratusan rahib atau Bhikkhu yang tinggal di Vihara tersebut.


Adalah menjadi tradisi dari kehidupan para Bhikkhu, bahwa kebutuhan mereka di topang oleh umat awam. Menjadi istimewa apabila pada hari-hari tertentu umat akan memberikan dana makan yang istimewa.Di Vihara tersebut, setiap awal bulan akan mendapat kiriman kopi. Sehingga minum kopi adalah acara yang istimewa. Seorang Bhikkhu muda bahkan sangat menantikan hari itu tiba. Betapa tidak, setelah seharian baraktifitas, sore hari berdiskusi dan pada akhir diskusi akan ada kopi hangat. Sebulan sekali lagi. Tak terbayang bagaimana rasanya minum kopi itu, harumnya, kentalnya, nikmatnya, aromanya, membayangkan saja sudah mengundang selera.


Pada satu bulan tertentu. Hari yang ditunggu tiba juga. Bhikkhu muda itu sudah tak sabar membayangkan bagaimana sore ini bakal menikmati kopi yang hanya dapat di nikmati sebulan sekali. Hmmm


Diskusi yang diadakan terasa panjang, karena yang ada dipikirannya adalah jam minum kopi. Wajah makincerah ketika kopi-kopi sudah disiapkan oleh umat untuk mereka. Bagi Dia, diskusi panjang lebar itu mendapatkan satu kesimpulan, yaitu saatnya minum kopi. Di hadapan satu Bhkkhu sekarang tersedia satu cangkir kopi, masih panas, dan aromanya jelas tercium.


Ketika acara minum kopi sudah siap, tibalah menunggu Bhikkhu senior, gurunya, mempersilahkan untuk minum kopi. Adalah bagian dari etika bahwa mereka yang senior akan mempersilakan terlebih dahulu atau minum terlebih dahulu. Bhikkhu muda itupun dengan mantap memandang Bhikkhu senior, gurunya. Baginya jelas, begitu dipersilahkan maka reflek untuk segera menyambar kopi didepannya.


Satu menit, dua menit, tiga menit, lima menit… hingga sepuluh menit, sang guru hanya senyum-senyum memandangi mereka semuanya. Mungkin menunggu agak dingin.. batinnya, dengan senyum yang terkembang membalas senyum gurunya.


Lima belas menit berlalu, sang guru masih senyum-senyum saja. Kegelisahan pun mulai muncul, ada apa ini? Kopi itu bakal hambar, gak nikmat lagi, senyumnya pun mulai hambar.


Dua puluh menit berlalu, wah ini guru emang payah, gak tahu kesukaan muridnya, benar-benar guru gak punya kasih... pikiran pikiran jelek tentang gurunya pun mulai bermunculan. Setiap dia melihat gurunya tersenyum kepadanya, senyum masam yang dia balas, dengan wajah yang sudah kemerahan nahan marah.


Setengah jam kemudian semua doa buruk buat gurunya sudah dia bacakan, seyum masamnya gak bisa disembunyikan lagi, sudah cemberut yang dia berikan kepada sang guru. Hal-hal buruk tentang gurunya dia ingat detail, serasa menjadi alasan kenapa dia harus tidak suka kepada gurunya. Hal-hal baik tentang gurunya sudah hilang tak tersisa. Gak ada senyum lagi untuk membalas senyum gurunya.


Menunduk dia melihat kopi yang sudah menjadi dingin dan tak beraroma. Uhh.. satu demi satu dia meikirkan kopi itu, aromanya sudah hilang, dari panas menjadi dingin, dan mulai kehilangan selera un tuk meminumnya.

Dia kemudian meandang gurunya baik, seorang bhikkhu tua, kurus, dan jelek. Penyebab daris egala keacaun dalam acara minum kopi. Guru yang pantas untuk dibenci. Kemudian dia meliaht kopi lagi, dan gurunya secara bergantian. Senyum guru itu, bukankah sudah ada jauh sebelum ada kopi terhidang?


Kopi, ah setelah diminum rasa kopi itu juga hilang, hambar lagi, hanya memberi kenikmatan sesaat. Seandainya tidak minum kopi pun seperti hari biasa, dia tidak akan mendapat musibah.

Kemudian gurunya diliatin lagi, dan dia sadar, seandainya tidak ada jam minum kopi, mungkin dia tak akan membecakan doa buruk buat gurunya. Seandainya tak ada niatan minum kopi, senadainya tak memandang kopi sebagai hal yang istimewa, seandainya keinginan itu disikapi biasa saja..


Dia makin sadar, dari kopi yang tak terminum, dia bisa membenci banyak hal, dan menimbulkan pikiran buruk, keinginan buruk untuk orang lain. Betapa liarnya pikiran itu seandainya tak dikenali dan tak terkendali.

Akhirnya dia mengerti persis pelajaran dari gurunya sore ini, dengan mantap dia tersenyum kepaad gururnya, senyum yang sangat manis, yang diliputi kegembiraan luar biasa. Ketika kemudian gururnya melihat dengan senyum, dia berkata.. “Aku mengerti Guru, tentang pelajaran sore ini”

Sang Guru pun tersenyum lebar “ Silakan diminum kopinya…”


Kopi yang dia minum sore ini, terasa sangat nikmat, meski sudah sangat dingin dan tak beraroma.


Cerita ini saya dapatkan dari seorang teman, bernama Pak Himawan, dalam sebuah obrolan menghabiskan malam bersama beberapa teman. Mungkin apa yang saya ceritakan disini tidak akan mewakili sepenuhnya, karena saya mendapatkan cerita ini secara lisan, sehingga mimik wajah, gerakan dan ekpresi sangat menunjang cerita ini.