Setidaknya, sepanjang yang aku ingat, belum ada pemakaman yang sebesar ini di kampungku. Bukan dilihat dari megahnya pemakaman, atau mewahnya pemakaman, tapi jumlah kehadiran pelayat. Antrian mobil yang berderet hingga lebih dari 2 km, juga iring-iringan pelayat mengantar jenazah ke makam yang nggak habis-habis. Konon beberapa kijing (penanda makam seseorang) banyak yang rusak akibat terinjak-injak pelayat yang ikut mengantar jenazah ke makam.
Beliau yang meninggal bukanlah mantan pejabat, atau orang “penting”, bahkan Beliau seorang buta huruf. Meninggalnya pun bukan karena kejadian tragis yang menjadikan orang antusias ke pemakamannya, meninggal karena wajar, karena usia tua, teramat tua bahkan karena mencapai lebih dari 100 tahun. Namun berkat jasanya, kami semua warga kampung, dan juga kapung sekitarnya, dapat lahir dengan selamat dan tumbuh dengan sehat. Beliau adalah dukun bayi, dan sepanjang hidupnya Beliau abdikan penuh untuk kesehatan dan keselamatan generasi kampung kami dan sekitarnya.
Ninek Muntheng, atau Biyung Muntheng, demikian kami biasa memanggilnya. Beliau adalah Ibu dari seluruh warga kampung, yang kepadanya kami semua merasa pantas melakukan penghormatan atas kehadirannya. Kepada beliau kami semua merasa bersalah apabila tidak sungkem di hari lebaran.
Sejak jaman kakekku masih anak-anak, Beliau sudah mengabdikan diri sebagai dukun bayi. Kakekku sendiri menurut pengakuannya sudah merasakan pijitan dan urutan serta ramuan dari Ninek Muntheng. Jadi, saat ini tidak ada satu pun orang asli kampungku yang tidak mendapat sentuhan dari Ninek Muntheng.
Keahliannya menolong orang melahirkan tak diragukan. Menurut pengakuan para Ibu yang sempat aku tanya, seberapa hebatnya Beliau, mereka menjawab, bahwa begitu sentuhan tangan Ninek Muntheng nyampe perut, maka akan terasa adem, tenang dan seperti mendapat tenaga tambahan untuk melahirkan.
Keahlian memijat anak-anak juga luar biasa. Menurut ninek dulu, bayi dan anak-anak itu urat-uratnya belum kuat, tapi mereka aktif. Jadi perlu secara rutin dilakukan perawatan dengan cara diurut. Tentu saja urutannya menggunakan minyak-minyak bayi, atau ramuan-ramuan yang aku gak pernah tahu apa isinya. Ninek juga selalu hapal ramuan-ramuan yang digunakan untuk Ibu-Ibu melahirkan atau bayi dan anak-anak. Ramuan mana yang untuk penambah ASI, yang untuk nafsu makan anak, atau bagi yang sedang melakukan nyapih (menghentikan ASI bagi bayinya jika sudah tiba waktunya), diingatnya dengan baik.
Namun diluar keahlian itu, sebenarnya yang merasa kami kagum adalah sikap pelayannnya. Ninek akan merawat bayi, dari melahirkan hingga dirasa cukup. Tiap hari Ninek akan mendatangi rumah bayi-bayi yang masih dalam masa perawatannya. Hebatnya, itu dilakukan karena tanggung jawab. Bukan karena uang. Sama sekali Ninek tidak memungut bayaran dari apa yang dilakukan. Ninek hanya
Karena apa yang dilakukan tersebut, maka mungkin tidak ada seorangpun di kampungku yang belum pernah ngompol dipangkuannya. Semua mendapat perawatan dari beliau. Bagi Aku, ada beberapa hal yang masih selalu aku inget. Diantaranya adalah adalah sewaktu aku dijewer karena ngumpetin sandal Beliau, ketika datang ke rumahku untuk merawat adik bayiku (waktu itu). Kemudian sewaktu aku teriak teriak “lampirrrr-lampirrr” sambil menahan sakit sewaktu dipijet beliau karena kecethit. Sampai kemudian aku mendapat “kutukan” dari Beliau, gara-gara jagung yang dia jemur aku ambilin dikit-dikit untuk pakan ayam yang lewat (pura-puranya waktu itu lagi mainan jadi peternak, kekekek). Gara-gara itu aku dituntun sambil dimarahi Beliau, dibawa ke Bapakku, Ninek Bilang ; “ Bocah iki mbelinge ngujubilah, neng yo bocah iki sing bakal nulari wong sak desa desa ben dho dadi wong pinter, suk gedene bakal gawe mongkokke wong sakdesa” ( anak ini nalanya ngujubilah, tapi anak ini yang bakal menulari orang sedesa agar menjadi orang pandai, besuk besarnya akan membanggakan orang sedesa). Kutukan yang menurutku adalah sebuah harapan, dan entah karena kebetulan, akulah orang pertama yang kuliah dan menjadikan anak-anak di generasi berikutnya berlomba untuk bersekolah. Meski jika dibilang akan membuat bangga satu desa, aku merasa Ninek berlebihan, toh aku nggak berbuat banyak untuk mereka.
Kenangan yang tak terlupakan adalah ketika bencana angin topan melanda kampungku sewaktu aku anak-anak. Di tengah-tengah angin yang besar dan menakutkan, Ninek berteriak teriak memanggil namaku. Aku menangis ketakutan dipelukan Ibu, Bapakku keluar untuk melihat, ternyata Ninek minta tolong karena rumahnya roboh, untung saja Beliau nggak cedera sama sekali karena ketika roboh, Beliau sudah keluar rumah karena sudah merasa rumahnya nggak akan bertahan, maklum rumah bambu semata. Karena rumah kami yang terdekat, Ninek berjalan merangkak ke rumah kami.
Seperti juga warga kampung lain, Ninek memang telah banyak memenuhi memoriku. Lebaran tahun lalu, dalam kondisi tua yang lemah nya, ketika aku datang Beliau masih inget namaku dan usilku “ Walah Wiwid to, putuku sing bagus, maturnuwun yo jajanne, mengko nek mulih sandalku ojo diumpetke .. ( Walah wiwid to, cucuku yang bagus, terimakasih oleh-olehnya, nanti kalau pulang sandalku jangan disembunyikan.) mengingatkan aku pada kenakalan masa kecilku.
Kalimat terakhir yang terucap untukku, sampai kemudian berita duka itu. Berita duka yang seperti juga warga kampung lain di perantauan, merasa perlu untuk datang langsung dan pulang kampung untuk memberikan penghormatan terakhir.
Ninek Muntheng telah meninggal. Dukun Bayi, Tukang Pijet, pengobat, penyembuh atau apa saja lah namanya, yang jelas Beliau telah berjasa bagi kami. Kepada mereka yang menyangsikan keahlian seperti yang Beliau kuasai, kami merasa perlu untuk membelanya bahwa apa yang telah beliau lakukan adalah nyata, ada dan jelas bermanfaat bagi Kami. Dengan meninggalnya beliau, maka berarkhirlah era dukun bayi, masuklah era baru yang dianggap lebih modern yaitu Bidan. Semoga saja, perbedaan metode, bukan berarti sikap pelayanan seperti yang Ninek Muntheng lakukan akan hilang berganti menjadi sekedar hubungan materiil semata.
Selamat jalan Ninek…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar