Jumat, 26 September 2008

Kita Butuh Pemalu dan Penakut



Berani. Itulah kata-kata yang sering digunakan untuk memotivasi seseorang. Kata berani ini dicitrakan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, mencitrakan kebaikan atau bermakna positif. Ketika kita kecil, orang tua kita mendorong kita dengan kata “jadilah pemberani, jangan cengeng.” Juga ketika kita di sekolah, guru-guru kita akan selalu berkata “ayo anak-anak, jadilah pemberani, jangan malu-malu, silakan yang mau jawab angkat tangan, yang bisa mengerjakan silakan maju.”

Juga tentang mitos tentang kepahlawanan yang selalu kita baca. Dari epos Bharatayuda tentang keberanian para satria Pandawa melawan ketidakadilan. Buku-buku sejarah juga akan mnggambarkan betapa gagah beraninya Pangeran Diponegoro atau Cut Nyak Dien dalan berperang melawan pendudukan Belanda. Atau heros abad 21 seperti Superman, Spiderman atau Rambo, mereka menjadi idola karena merupakan orang-orang pemberani.

Jika kita berkesempatan utnuk mengikuti pelatiahn-pelatihan yang berisi motivasi, maka motivator-motivator dengan gaya yang meledak-meledak akan selalu menekankan kata ini “Berani.. jangan ragu.. jangan takut.. orang akan berhasl jika dia berani membuat perubahan, berani mengambil keputusan, berani untuk memulai.. berani.. berani... berani..!!!”

Begitu kuatnya penanaman ide positif tentang Berani ini, maka masyarakat akan menganggap buruk buat mereka yang pemalu dan penakut. orang tua tentu akan lebih bangga jika anaknya disebut dengan pemberani, daripada pemalu apalagi penakut.

Namun jika kita mau melihat dunia menjadi tempat yang nyaman bagi semua penghuninya, sesungguhnya perlu ada kendali terhadap sifat berani tersebut. Tidak selamanya yang berupa berani itu adalah sebuah kebaikan. Terlalu menonjolkan kata berani, mengangungkan kata berani, maka secara tidak sadar kita menjadi pemberani terhadap tatanan juga.

Mungkin, karena begitu kuat penjiwaan terhadap berani tersebut, serta begitu jeleknya citra malu dan takut, maka sekarang kita melihat ada anggota dewan yang berani menerima suap untuk sebuah undang-undang, ada jaksa yang tidak malu ketika tertangkap basah menerima suap, di berbagai penjuru dunia selalu ada orang yang berani mencuri dan merampok. Ada juga orang yang berani menganiaya orang lain karena sejumlah perbedaan, tanpa rasa malu dan takut lagi. Banyak orang yang merasa tidak malu lagi untuk dikatakan miskin meskipun sudah bermobil mewah, sehingga selalu meminta proyek dan setoran dalam bekerja, Ada lagi pegawai pemerintah begitu berani dan tidak malu lagi menerima sogokan sana-sini, lupa bahwa melayani masyarakat adalah tugasnya. Banyak juga orang yang tidak lagi malu dicatat sebagai warga miskin asal dapat BLT dari pemerintah, peduli amat sama yang semetinya lebih berhak. Banyak remaja justru bangga ketika berani mempertontonkan adegan mesra dengan pasangannya di depan umum tanpa rasa malu dan takut.

Begitulah, Dunia menjadi penuh dengan warna-warni keberanian. Mungkin kita semua begitu mengahayati keberanian para pahlawan, menghayati nasehat orang tua kita untuk menjadi pemberani, terinspirasi oleh para motivator kita untuk selalu berani mengambil resiko. Akibatnya kita menjadi orang-orang yang berani berbuat tidak pantas.

Sudah saatnya kita membuat gerkan baru. gerakan untuk malu dan takut. Kita buat kata malu dan takut tidaklah selalu buruk dibandingkan dengan kata berani. semua pelajaran yang mengajarkan tentang berani harus diimbangi dengan pelajaran untuk menjadi malu dan takut.

Mengembangkan rasa malu, artinya kita menjadi orang yang tahu diri, tau pantas atau tidak tindakan itu dilakukan sebelum kita melakukan tindakan. Rasa malu akan menjadikan kita berhenti mengumbar keberanian kita dalam bertindak dan berbuat, jka tindakan dan perbuatan kita itu tidak baik, tidak pantas, merugikan orang lain. Mengembangkan rasa takut, artinya kita selalu diingatkan bahwa tindakan dan perbuatan kita itu selalu berakibat. berakibat baik jika tindakan kita adalah kebaikan, berakibat tidak baik jika tindakan kita adalah keburukan. Sebelum bertindak dengan berani, kita selalu diingatkan bahwa kita akan mendapat kebaikan atau keburukan dari perbuatan kita.

Demi kebaikan, menjaga dunia penuh damai dan cinta sesama, kita butuh menjadi malu dan takut. Malu untuk berbuat kejahatan dan berbagai tindakan yang tidak pantas, serta takut akan akibat dari perbuatan jahat yang kita lakukan.

Jumat, 12 September 2008

Kembang kirimanmu

kembang kirimanmu
wis dak tampa tanpa layu
katon seger ngganda arum
wis rinonce sajroning tamanku

mung welingku cah manis
kembang sing dakkirim
enggal dironce kanthi asri
dadio endahing tamaning ati

enggal dironce kanthi endah
tinandur kuat ing jeron manah
aja nganti ono selah
mung kembangku sing tumata kebak

mung welingku cah ayu
isinen taman atimu
mung kanthi asmaku
dadiyo endah lakumu lakuku



Kamis, 11 September 2008

Menjadi Realistis

Obrolan chating malam ini dengan seorang teman menyinggung masalah dia yang selalu merasa pesimis terhadap banyak hal yang dihadapi. Obrolan ini mengingatkan aku tentang cerita botol minyak. Mungkin beberapa dari anda sudah membacanya.

Seorang anak diminta tolong sama ibunya untuk membelikan minyak. Maka pergilah anak itu dengan membawa sebuah botol. Dengan botol itulah si anak membawa minyaknya. Dalam perjalanan pulang, anak tersebut terjatuh, dan tumpahlah sebagian minyaknya. Sekitar setengah dari minyak yang dia beli tumpah...

Ada tiga kemungkinan yang terjadi sebagai kelanjutan cerita diatas. kemungkinan pertama, si anak akan pulang sambil terus menyesali, bahkan menangisi minyaknya yang hilang. Dia mengadu kepada Ibunya bahwa Dia sudah kehilngan setengah minyak yang dia beli, dengan penuh penyesalan. Pada kasus ini anak tersebut adalah anak yang Pesimis.

Kasus yang kedua, si anak akan pulang tetap dengan tenang dan tegap. tak ada wajah menyesal. Segalanya seperti beres, dan dengan tegas dia akan melaporkan : "Ibu, tadi di jalan Aku jatuh, tapi Aku tetap mampu menyelamatkan setengah minyak yang aku beli!!" Pada kasus ini, kita bertemu dengan anak yang Optimis.

Kasus yang ketiga, si anak tetap tenang dan pulang. wajahnya juga seimbang, tidak senang, sedih juga tidak. ketika bertemu dengen ibunya, dia akan melapor : "Ibu, tapi aku jatuh, harus Aku akui Aku kehilangan setengah minyak yang Aku beli, tapi masih juga ada setengah yang dapat dimanfaatkan." Pada kasus ini, kita bertemu dengan anak yang Realistis

Dalam banyak kasus, kadang kita menjadi orang yang pesimis dengan terus2 menerus menyesali yang hilang, dan lupa dengan peluang2 yang ada. Kadang kita juga menjadi orang yang Optimis, dengan terus menerus berbicara peluang-peluang, sehingga jika kadang menjadi lupa terhadap kemungkinan buruk yang ada. tetapi ada yang lebih bagus dalam kita bersikap terhadap apapun yang terjadi, yaitu kita menjadi realistis, tidak lupa dengan kendala2nya, tidak lupa juga dengan peluang2nya. Tidak lupa dengan keburukannya, namun tetap bersikap maju untuk melakukan hal-hal yang baik.

Kira-kira Realistis nggak ya postingan ini?

Sabtu, 06 September 2008

Menjadi Tidak Wajar

Apakah yang kamu pikirkan tentang kucing? jika pertanyaan ini disampaikan ke banyak orang mungkin akan di dapat jawaban :

"Binatang yang lucu, yang menggemaskan"

Ada juga yang menjawab "Duh, imut banget...pengin deh peluk kucing kalau tidur"

Ada juga yang akan bilang "Binatang yang sangat manja"

Pernah juga ada yang bilang "Bikin jengkel tapi juga kangen"

Terus ada yang bilang "Menjengkelkan, suka mencuri"

Ada juga yang bilang "Menjijikkan!!"

Mungkin masih banyak jawaban lagi seputar pendapat tentang kucing. Tentu saja hal ini tidak akan didapatkan jawaban yang sama satu dengan yang lainnya. Pendapat setiap orang tentang kucing, akan sangat tergantung kesan, pengalaman, apa yang dia liat, apa yang dia tahu tentang kucing. Dengan demikian adalah sulit menyamakan pendapat tentang kucing. Sementara, kucing tetaplah kucing. Oranglah yang akan menilainya tergantung dari apa yang dia pikirkan tentang kucing berdasarkan kesan, pengalaman, penglihatan dan pengetahuan tentang kucing.

Begitulah, di tengah masyarakat kita ada banyak sekali selain "kucing", hampir semua benda dan fenomena memiliki arti dan nilai yang berbeda pada setiap orang. Hal ini wajar, tergantung kesan, pengalaman, penglihatan dan pengetahuan tentang benda dan fenomena tersebut. Dengan demikian, adalah wajar jika terjadi perbedaan cara pandang, atau nilai setiap orang terhadap benda atau fenomena-fenomena itu.

Menjadi tidak wajar justru apabila kita, memaksakan cara pandang kita terhadap sesuatu itu kepada orang lain, memandang aneh orang yang berbeda pandangan dengan kita, padahal jelas kondisinya berbeda. Jelas bahwa kesan, pengalaman, penglihatan dan pengetahuannya berbeda. Semakin tidak wajar kalau kita kemudian membenci mereka yang berbeda cara memandang terhadap sesuatu itu.