Minggu, 26 Juli 2009

Berawal dari sebuah buku kucel [Ulang tahun ke-11 Detikcom]

Internet? Hehehe… Bagiku internet adalah sebuah hal yang menjadikan Aku melihat dunia baru, yang memberikan Aku pada pembelajaran baru. Menurut teman Aku yang sok sosiologis, saya mengalami transformasi budaya melalui internet.

Istilah internet mulai terdengar ketika Aku sekolah di SMA, di Kota Kabupaten Temanggung. Meski demikian, istilah tersebut ya sekedar istilah, apa, seperti apa, untuk apa itu internet, belumlah jelas. Jujur, Aku sempat berpikir, kalau internet itu mungkin bisa saja menemukan kambing yang hilang,.

Akhirnya perjumpaan dengan internet secara sungguhan, terjadi ketika Aku kuliah di Jogja. Awalnya juga tidak begitu interest dengan internet. Bahkan ketika teman-temanku sibuk mencari referensi melalui internet, Aku masih bingung, masih lebih enjoy berkutat dengan buku-buku yang tebal di perpustakaan.

Ketika Aku kesulitan mendapatkan referensi, kemudian temanku menyarankan untuk gugling, Aku hanya mengiyakan, sambil membayangkan apa itu gugling. Aku lebih suka nitip ke teman kost untuk mencarikan sesuatu, tanpa Aku merasa penting untuk belajar internet.

Meski demikian karena obrolan tentang gugling, email, donwload dll sering dilakukan baik di kost, di kampus, di angkringan, bahkan dimana saja, dorongan untuk mencoba internet makin besar. Namun, karena Aku merasa belum merupakan kebutuhan, maka baru berhenti pada satu keinginan saja.

Tak lama setelah itu semua, saya akhirnya harus ketemu dengan internet. Salah seorang dosen memberikan tugas, dan tugas makalah tersebut harus dikumpulkan melalui email, diuhhhhh.

Nah, dengan bekal sering nguping obrolan teman kost atau kampus atau teman angkringan dekat kost tentang internet, Aku mencoba memberanikan diri untuk masuk ke warnet. Masuk, disambut dengan senyum manis mbak operator warnet, membuat sedikit agak nyaman.

Masuklah ke box internet. Kemudian menatap monitor dengan tajam, sambil deg-degan, sekitar 10 menit gak ada reaksi, padahal biling tetap jalan. Kalau aku sih lebih suka pake mozila untuk browsernya. Aku inget kata itu dari seorang temanku. Ingat hal tersebut mendorong saya untuk mengklik mozila yang ada di dekstop. Kemudian setelah terbuka aku ketik “email” dan tentu saja tidak menghasilkan apa-apa. Masih belum kapok, akhirnya aku tulis “gugling” hasilnya juga nihil. Setelah bingung dan keringetan berkepanjanagn meski dalam ruang ber-AC, akhirnya aku putuskan keluar, dan dengan sisa PDnya, aku bilang “alamatnya lupa”, kepada mbak OP warnet tersebut.

Di kost aku berniat menemui salah satu kakak kost yang emang hoby banget ke warnet, untuk membantu masalahku tersebut. Sayang sekali Beliau sibuk, sementara teman kost yang lain malah menertawakan ketika aku cerita masalahku.

Dalam sedikit keputuasaan dan kebingungan itu, aku masuk ke kamar salah kakak kost yang tadi menertawakan aku paling kencang. Untuk berniat tidur, karena kamarku malah dipake buat main poker oleh teman-teman kost. Sambil berbaring tersebut aku merunut tumpukan buku di rak bukunya, sampai mataku tertuju pada buku yang agak kumal. Buku tersebut aku ambil, dan bertuliskan, petunjuk membuat dan menggunakan email secara praktis dan cepat. Aku buka, dan aku menemukan kalau petunjukknya lumayan jelas, lengkap dengan gambar tampilan setiap langkah dalam membuat email dan menggunakannya.

Buku aku ambil dengan tenpa ijin tentu saja, terus segera menuju warnet lagi. Kali ini dengan lebih percaya diri. Dalam box, semua berjalan lancar, petunjuk dari buku kumal itu sangat mujarab. Tes kirim email juga berjalan dengan baik, ditambah dengan sedikit penjelasan dalam buku tersebut tentang gugling, saat itu itu juga aku bisa meninggalkan gugling menjadi google. Tiga jam aku habiskan saat itu juga di warnet hanya untuk utak utik karena mulai menemukan keasyikan bergogle.

Dari buku kumal tersebut akhirnya Aku, memasuki beneran internet. Mulai kemudian mengenal berbagai hal yang ditawarkan oleh internet. Tentu dengan belajar sendiri, sering mencoba, dan berani salah. Proses belajarku tentang internet hampir seluruhnya karena mencoba sendiri.

Hasilnya, aku memasuki satu hal baru yang sangat berpengaruh pada hidupku, saya belajar banyak. Melalui diskusi-diskusi, jejaring sosial, semua mengajarkanku untuk melihat cara pandang yang berbeda terhadap satu hal. Aku mulai bisa melihat kebiasaan, nilai-nilai, cara pandang, yang berbeda dan itu banyak menambah wawasan, serta makin mendewasakan aku.

Transformasi budaya yang diceritakan temanku melalui internet beneran terjadi. Karena kini aku masuk dalam satu dunia baru yang tadinya tidak aku kenal, dengan nilai, aturan etika, yang berbeda dari yang selama ini aku kenal. Dengan menjadi pengguna internet, maka aku sekarang telah masuk dalam dunia dengan tatanan baru, dunia maya.

Jika hendak berterimakasih atas segalanya, maka tentu saja aku berterimakasih pada semua kondisi tersebut. Semua obrolan tentang internet, dosenku yang mengharuskan saya beruinternet, tertawaan teman-teman kost, dan tentu saja buku kumal tentang petunjuk membuat dan menggunakan email. Buat pemilik buku kumal tersebut, setelah selesai tulisan ini, aku cc-kan ke emailnya saja, sebagai ucapan terimakasihku.

Meski demikian masih ada ganjalan tentang dunia internet terhadap pribadiku. Sebagai orang udik, yang ndeso, yang jauh dari peradaban internet, aku sering tertegun ketika pulang kampung dan bertemu dengan teman, tetangga dan warga kampungku. Aku dan mereka kadang serasa terpisahkan dalam dunia yang sangat jauh ketika berdiskusi atau ngobrol dalam satu hal. Pernah dalam satu kejadian, ada lawakan tentang Facebook di TV, aku tertawa ngakak, namun beberapa teman yang nonton bareng tidak menunjukkan ekpresi apapun. Aku akhirnya tersadar, ada yang berbeda, ada yang terpisah antara aku dan mereka dengan internet.
Berharap sekali, aku bisa berbagi tentang internet kepada mereka. Aku telah mendapatkan banyak manfaat dari berinternet, dan mereka warga kampungku juga berhak mendapatkan manfaat yang sama dari internet. Ada yang bisa membantu harapanku?

Jumat, 10 Juli 2009

Jangan Menunda Kebaikan


Seorang sahabat pernah merasa menyesal dengan apa yang dia lakukan. “Kami sekeluarga berencana menjenguk sore itu di rumah sakit, namun entah mengapa kami kepikiran untuk menunda besuk sorenya saja, sekalian ke toko buku, belum kesampaian kami menjenguk, dia telah meninggal” demikian cerita penyesalnnya

Sahabat tersebut menunda untuk menjenguk seorang familinya yang sedang sakit, namun ketika pikiran itu muncul, dia memilih untuk menundanya, dan akhirnya tidak mendapat kesempatan untuk menjenguknya karena keburu meninggal.


Dengan kejadian yang persis sama, baru-baru ini saya mengalami sendiri, menunda untuk menjenguk seorang temang yang sakit, dan akhirnya tidak berkesempatan menjenguk karena dia keburu meninggal. Aneh memang, bahwa kadang kita menunda untuk melakukan satu kebajikan meski itu sudah kepikir dengan jelas.


Sewaktu saya KKN (Kuliah Kerja Nyata), saya pernah bertanya kepada warga kampung tempat saya KKN, apa tidak kepikiran untuk kerja bakti menguruk jalan-jalan yang berlubang? Toh jika semua hadir nggak sampai siang hari juga sudah kelar. Melalui kepala kampung yang diamini oleh ampir semua warga, dijawab “ Kami sudah lama kepikiran tapi entah kapan bisa terlaksana” hehehe


Kadang kita bermain-main dengan waktu dalam melaksanakan kebajikan. Sering sekali kita sudah memikirkan hendak melakukan sesuatu kebaikan, tapi kita menunda dengan alasan-alasan lebih baik besuk, mungkin kesempatan lain, atau masih ada hari esuk.


Bermain-main dengan waktu dalam melaksanakan kebajikan sungguh berbahaya. Mengapa? Karena sebetulnya kita tidak pernah tahu kapan waktu terbaik kita berbuat baik. Kita tidak pernah tahu apakah akan ada kesempatan lagi setelah detik ini untuk berbuat baik, karena hidup kita sampai kapan atau kondisi dunia seperti apa setelah detik ini, kita tak pernah tahu.


Pada kasus apa yang yang sahabat saya dan saya alami, mungkin itu adalah pembelajaran bagi kami untuk tidak menunda kebajikan yang bisa dilakukan saat ini, dan untuk tidak mengulanginya lagi dikemudian hari. Namun bagaimana jika justru kamilah yang mengalami maut? Tentu kami tak ada lagi kesempatan berbuat baik.


Waktu dan kesempatan itu tidak pernah terulang, itulah sebabnya berbahaya jika kita terus menerus berpikir untuk menunda kebaikan dengan berpikir masih ada kesempatan lain. Mungkin kita bisa berpikir untuk menunda satu bentuk kegiatan kebaikan, wujud kegiatan, tapi jangan sampai kita menunda kebaikan itu sendiri.


Sedangkan setiap kesempatan kita, setiap saat, setiap detik kita terus menerus bisa melakukan kabaikan. Selalu ada kesempatan untuk melakukan kebaikan. Bersikap ramah dan simpatik terhadap semua orang tentu bisa dilakukan kapan saja. Berpikir dan berharap terhadap kebaikan, kesuksesan dan kebahagiaan semua makhluk bisa dilakukan kapanpun. Tidak membenci siapapun bisa dilakukan kapan saja.


Menghormati orang tua, berderma kepada orang membutuhkan, tak harus menunggu waktu-waktu khusus, karena kita berpacu dengan waktu. Ada banyak sekali bentuk kebaikan yang bisa dilakukan setiap saat, tinggal disesuaikan dengan kondisi kita saat itu. Namun sebetulnya tak ada alasan untuk mengatakan kalau kita belum ada kesempatan untuk berbuat baik.


Seorang Guru pernah bertanya kepada muridnya, “Apakah Kamu sering merenungkan kematian?”

Murid tersebut menjawab, “Tujuh kali dalam sehari, bagaimana dengan Guru?”

“Setiap saat Saya merenungkan kematian, sehingga saya tahu bahwa kematian bisa datang setiap saat, sehingga setiap saat kita harus berbuat baik.” Jawab Sang Guru


Jangan tunda kebaikan kita, kebaikan apapun yang bisa kita lakukan saat ini, detik ini, ..

Senin, 06 Juli 2009

Berakhirnya era Dukun Bayi di Kampungku



Setidaknya, sepanjang yang aku ingat, belum ada pemakaman yang sebesar ini di kampungku. Bukan dilihat dari megahnya pemakaman, atau mewahnya pemakaman, tapi jumlah kehadiran pelayat. Antrian mobil yang berderet hingga lebih dari 2 km, juga iring-iringan pelayat mengantar jenazah ke makam yang nggak habis-habis. Konon beberapa kijing (penanda makam seseorang) banyak yang rusak akibat terinjak-injak pelayat yang ikut mengantar jenazah ke makam.


Beliau yang meninggal bukanlah mantan pejabat, atau orang “penting”, bahkan Beliau seorang buta huruf. Meninggalnya pun bukan karena kejadian tragis yang menjadikan orang antusias ke pemakamannya, meninggal karena wajar, karena usia tua, teramat tua bahkan karena mencapai lebih dari 100 tahun. Namun berkat jasanya, kami semua warga kampung, dan juga kapung sekitarnya, dapat lahir dengan selamat dan tumbuh dengan sehat. Beliau adalah dukun bayi, dan sepanjang hidupnya Beliau abdikan penuh untuk kesehatan dan keselamatan generasi kampung kami dan sekitarnya.


Ninek Muntheng, atau Biyung Muntheng, demikian kami biasa memanggilnya. Beliau adalah Ibu dari seluruh warga kampung, yang kepadanya kami semua merasa pantas melakukan penghormatan atas kehadirannya. Kepada beliau kami semua merasa bersalah apabila tidak sungkem di hari lebaran.


Sejak jaman kakekku masih anak-anak, Beliau sudah mengabdikan diri sebagai dukun bayi. Kakekku sendiri menurut pengakuannya sudah merasakan pijitan dan urutan serta ramuan dari Ninek Muntheng. Jadi, saat ini tidak ada satu pun orang asli kampungku yang tidak mendapat sentuhan dari Ninek Muntheng.


Keahliannya menolong orang melahirkan tak diragukan. Menurut pengakuan para Ibu yang sempat aku tanya, seberapa hebatnya Beliau, mereka menjawab, bahwa begitu sentuhan tangan Ninek Muntheng nyampe perut, maka akan terasa adem, tenang dan seperti mendapat tenaga tambahan untuk melahirkan.


Keahlian memijat anak-anak juga luar biasa. Menurut ninek dulu, bayi dan anak-anak itu urat-uratnya belum kuat, tapi mereka aktif. Jadi perlu secara rutin dilakukan perawatan dengan cara diurut. Tentu saja urutannya menggunakan minyak-minyak bayi, atau ramuan-ramuan yang aku gak pernah tahu apa isinya. Ninek juga selalu hapal ramuan-ramuan yang digunakan untuk Ibu-Ibu melahirkan atau bayi dan anak-anak. Ramuan mana yang untuk penambah ASI, yang untuk nafsu makan anak, atau bagi yang sedang melakukan nyapih (menghentikan ASI bagi bayinya jika sudah tiba waktunya), diingatnya dengan baik.


Namun diluar keahlian itu, sebenarnya yang merasa kami kagum adalah sikap pelayannnya. Ninek akan merawat bayi, dari melahirkan hingga dirasa cukup. Tiap hari Ninek akan mendatangi rumah bayi-bayi yang masih dalam masa perawatannya. Hebatnya, itu dilakukan karena tanggung jawab. Bukan karena uang. Sama sekali Ninek tidak memungut bayaran dari apa yang dilakukan. Ninek hanya kan mendapat seperti sesulih atau anteran disaat-saat tertentu, Biasanya berupa pakaian atau Beras, Gula teh, yang diberikan menjelang Lebaran, atau kapanpun orang mau. Tak sebanding dengan wira-wiri, tenaga, atau bahan-bahan perawatan yang Ninek lakukan. Untuk penghasilannya Ninek beternak ayam kampung, tidak berharap dari anteran. Ninek juga selalu siap kapan saja jika ada yang membutuhkan, bangun tengah malam, di jemput ketika sedang sibuk, adalah sesuatu yang biasa buat Beliau.


Karena apa yang dilakukan tersebut, maka mungkin tidak ada seorangpun di kampungku yang belum pernah ngompol dipangkuannya. Semua mendapat perawatan dari beliau. Bagi Aku, ada beberapa hal yang masih selalu aku inget. Diantaranya adalah adalah sewaktu aku dijewer karena ngumpetin sandal Beliau, ketika datang ke rumahku untuk merawat adik bayiku (waktu itu). Kemudian sewaktu aku teriak teriak “lampirrrr-lampirrr” sambil menahan sakit sewaktu dipijet beliau karena kecethit. Sampai kemudian aku mendapat “kutukan” dari Beliau, gara-gara jagung yang dia jemur aku ambilin dikit-dikit untuk pakan ayam yang lewat (pura-puranya waktu itu lagi mainan jadi peternak, kekekek). Gara-gara itu aku dituntun sambil dimarahi Beliau, dibawa ke Bapakku, Ninek Bilang ; “ Bocah iki mbelinge ngujubilah, neng yo bocah iki sing bakal nulari wong sak desa desa ben dho dadi wong pinter, suk gedene bakal gawe mongkokke wong sakdesa” ( anak ini nalanya ngujubilah, tapi anak ini yang bakal menulari orang sedesa agar menjadi orang pandai, besuk besarnya akan membanggakan orang sedesa). Kutukan yang menurutku adalah sebuah harapan, dan entah karena kebetulan, akulah orang pertama yang kuliah dan menjadikan anak-anak di generasi berikutnya berlomba untuk bersekolah. Meski jika dibilang akan membuat bangga satu desa, aku merasa Ninek berlebihan, toh aku nggak berbuat banyak untuk mereka.


Kenangan yang tak terlupakan adalah ketika bencana angin topan melanda kampungku sewaktu aku anak-anak. Di tengah-tengah angin yang besar dan menakutkan, Ninek berteriak teriak memanggil namaku. Aku menangis ketakutan dipelukan Ibu, Bapakku keluar untuk melihat, ternyata Ninek minta tolong karena rumahnya roboh, untung saja Beliau nggak cedera sama sekali karena ketika roboh, Beliau sudah keluar rumah karena sudah merasa rumahnya nggak akan bertahan, maklum rumah bambu semata. Karena rumah kami yang terdekat, Ninek berjalan merangkak ke rumah kami.


Seperti juga warga kampung lain, Ninek memang telah banyak memenuhi memoriku. Lebaran tahun lalu, dalam kondisi tua yang lemah nya, ketika aku datang Beliau masih inget namaku dan usilku “ Walah Wiwid to, putuku sing bagus, maturnuwun yo jajanne, mengko nek mulih sandalku ojo diumpetke .. ( Walah wiwid to, cucuku yang bagus, terimakasih oleh-olehnya, nanti kalau pulang sandalku jangan disembunyikan.) mengingatkan aku pada kenakalan masa kecilku.


Kalimat terakhir yang terucap untukku, sampai kemudian berita duka itu. Berita duka yang seperti juga warga kampung lain di perantauan, merasa perlu untuk datang langsung dan pulang kampung untuk memberikan penghormatan terakhir.

Ninek Muntheng telah meninggal. Dukun Bayi, Tukang Pijet, pengobat, penyembuh atau apa saja lah namanya, yang jelas Beliau telah berjasa bagi kami. Kepada mereka yang menyangsikan keahlian seperti yang Beliau kuasai, kami merasa perlu untuk membelanya bahwa apa yang telah beliau lakukan adalah nyata, ada dan jelas bermanfaat bagi Kami. Dengan meninggalnya beliau, maka berarkhirlah era dukun bayi, masuklah era baru yang dianggap lebih modern yaitu Bidan. Semoga saja, perbedaan metode, bukan berarti sikap pelayanan seperti yang Ninek Muntheng lakukan akan hilang berganti menjadi sekedar hubungan materiil semata.

Selamat jalan Ninek…