Sabtu, 30 Agustus 2008

Si Kidang Talun

Di sebuah Forum diskusi internet, saya menemukan postingan tentang lagu masa anak-anak. Kalau Anda yang tinggal di Jawa, barangkali ingat lagu masa kecil ini :

Kidang talun

mangan Kacang talun

Mil kethemil mil kethemil

si Kidang mangan Lembayung

Membaca postingan tersebut, tentu saja yang terlintas di benak Saya adalah memori masa kecil, ketika Ibu Saya menyanyikan lagu itu untuk Saya, dengan memainkan tangan seolah2 tanduk Kijang yang terangguk2 mengikuti gerakan kepalanya. Setelah itu Ibu akan bilang, “ayo kidangnya makan lembayung dulu..” , dan dengan senyum lebar Saya tidak lagi ngeyel dan menolak makan, dengan senang hati akhirnya makan nasi beserta sayurnya dengan lahap..

Beberapa hari kemudian ketika melihat tulisan tentang lagu itu, Saya kembali berpikir tentang hal lain, berikut ini :

Pertama, Saya khawatir bahwa lagu itu masuk dalam zona lagu masa lalu, yang akan tenggelam seiring dengan waktu. Betapa tidak, anak-anak sekarang Saya yakin gak akan populer dengan lagu itu, kalaupun masih menyanyikan lagu anak2 tentunya bukan lagu itu, dan kalupun masih ada yang menyanyikan lagu itu, tentu jumlahnya makin sedikit. Beberapa hari yang lalu ketika Saya berkunjung ke rumah salah satu teman, gak jauh dari rumahnya serombongan anak2 malah sedang asyik bergoyang mengikuti irama lagu dangdut dewasa, oooo ooooo kamu ketahuannnnn” (kata teman tuh VCD pementasan dangdut, berarti goyang hot ala penyanyi dangdut tuh yang anak2 tonton.. oooo oooo kamu ketahuannnnn). Juga dalam kontes penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi swasta, lagu-lagu yang dibawakan sebagian besar termasuk kategori dewasa…

Kedua, dulu Saya bingung banget membedakan antara Kidang dan Menjangan. Tapi toh setidaknya mengenal Kidang, mengenal Menjangan, dan melihatnya. Saya khawatir, anak-anak besuk hanya akan dapat membayangkan atau berimajinasi untuk melihat Kidang. Mereka hanya bisa melihat melalui gambar, buku2, atau animasi Komputer. Barangkali berlebihan, tetapi di jaman sekarang saja, salah seorang teman bercerita kepada saya tentang keponakannya yang tidak bisa membedakan Kerbau dan Sapi. Meski awalnya menertawakan cerita itu, toh akhirnya saya berjumpa juga dengan orang (bukan anak2 lagi, dah kuliah tahun pertama) yang tidak bisa membedakan Kerbau dan Sapi, ditambah juga Dia tidak bisa membedakan Bebek (itik) dengan Menthok. Itu Terjadi di jaman sekarang, bagaimana dengan beberapa puluh tahun kedepan? Juga kondisi belum adanya kesadaran bersama dari bangsa manusia untuk berbagi tempat di bumi dan ikut melindungi bangsa Kidang dari pembunuhan masal dan perburuan.

Ketiga, Saya khawatir juga bahwa jangan-jangan yang tidak tahu lagu itu, atau bahkan tidak tahu Kidang, adalah anak Saya juga (besuk, kalau sudah beristri dan sudah punya anak). Bisa jadi, anak Saya ngeyel dengan mengatakan bahwa nama hewan itu adalah Pooh ketika melihat beruang, atau Bona untuk menamakan Gajah, juga karakter2 yang lain untuk mengganti nama hewan yang ada. Bisa juga, anak Saya besuk lebih suka mengoleksi gambar dan boneka Anime, daripada mengenal hewan-hewan dan tanaman disekitar kita. Putus sudah generasi Agraris di keluarga Saya kalau itu terjadi..

Begitulah, Saya berharap, kita semua dapat melanjutkan balada si Kidang Talun ini, jangan sampai berlalu begitu saja, karena Kidang Talun, tidak hanya bercerita tentang si Kidang, tapi juga bagaimana kita menjadi bagian dari harmoni semesta alam

Ops, Anda tahu tanaman Lembayung kan?

Jumat, 29 Agustus 2008

Nimas Ayu


Sliramu Nimas Ayu

Sumusup jeroning kalbu

Sumurat ing saben pandulu

Ngegodha ing saben pangrasa

Kintir bareng ludira

Kumanthil sajroning ati

Kudu kumucap ing pucuking lathi

Tan pisah seko obahing pikir

Njalari suka, njalari kuatir


Sliramu wis manjing Nimas Ayu

Ing Raga lan sajroning Batinku….

Kamis, 28 Agustus 2008

Reuni Dadakan

Reuni Dadakan. Itulah yang terjadi dalam sebuah kesempatan pulang ke desaku. Sore itu aku mengantar seorang tetangga untuk kondangan ke dusun yang masih satu desa dengan desaku. Hanya Lokasinya sekitar 1 KM ke utara, ke arah hutan. Niat awal sih, sekalian jalan2 liat suasana dusun, sudah bertahun2 gak lewat dusun2 itu. kalaupun pulang desa, hanya sempat main ke teman2 yang satu dusun saja.

Karena nganter Kondangan, tentu saja aku tidak ikut masuk, malu.. maka aku memilih markir motor agak jauh dari lokasi, sambil liat2 keadaan dusun. Ketika asyik melihat banyak perubahan di dusun itu, nampak di sebuah rumah, seorang ibu menggendong anaknya, nampak senyum2 melihatku. Tadinya sih aku cuek, tapi tuh orang kok nggak pergi juga. Dengan penasaran aku memandang dia lebih jelas, sampai akhirnya, astaga.. dia temanku waktu SD.

Akhirnya aku hampirin dia, dan dengan senyum lebih lebar dia menyambutku, bukan hanya dia, Laki2 muda, (dugaanku suaminya dan ternyata benar) juga ikut menyambutnya.

"Piye Ning? apa kabar" sapaku duluan

"Apik, Piye Mas Wiwid?" sing Ning menjawab, namanya Ning

" ini anakmu? udah gede ya? ini pasti Bapaknya si Anak.." kataku menyalami mereka

Setelah duduk di teras, tanya kabar dan kegiatan, aku menanyakan teman-teman SD yang tinggal di dusun itu

"Eh Ning, gimana kabar Miswanti, Sriyati, Wali, Muti? tinggal dimana sekarang?"

"Sudah pada punya anak semua, tinggal di dusun ini juga.. "

"bentar aku panggilkan mereka, dekat kok mas rumahnya" kata si Suami

"Iya, bagus deh, kataku, wuah, nih sudah pada pindah rumah, meski satu dusun"

Bener juga, gak sampai sepuluh menit, mereka sudah ngumpul, wajah mereka nampak ceria, tentu saja obrolan makin ramai.

"Mas wiwid, kapan mantenan?" pertanyaan yang paling bikin ribet

"ha? kapan2 deh.."

"pasti ceweknya orang kota" ledek mereka

"kulitnya putih"

"nggak bisa bahasa Jawa"

"Nggak bisa jalan di pematang Sawah"

"dan nggak tahu bedanya sapi sama kebo"

"halagk.. yang bener aku belum laku" sanggahku

"masak sih, Mas?"

"Ops bentar, kenapa kalian manggil aku Mas, bukankah aku yang paling muda?"

"karena Mas sekarang sudah jadi Piyayi"

"satu-asatunya diantara kita, se-SD, se-angkatan, yang kuliah"

"makanya, kalau belum laku tuh bohong, paling belum mau.."

"sebagai satu-satunya yang kuliah, selama ini sudah menjadi kebanggan bagi kami"

"iya meski kemudian kami malu untuk menyapa duluan, ketemu piyayi"

"iya, setidaknya kami bangga, bisa pamer kalau mas wiwid yang pyayi tu teman kita satu kelas waktu SD"


kata-kata itu itu membuatku terpana, hanya bisa senyum-senyum saja, mereka memborbadir tentang Piyayi, Mas, kebanggaan dll, sampai kemudian HPku berdering, tetanggaku sudah selesai kondangannya. Aku pun berpamitan

"Senang ketemu lagi dengan kaliyan setelah bertahun-tahun tidak ketemu, kalau mo perlu biar tidak putus pertemanan kita, atau kalau lagi ke Jogja, hubungi aku, nih nomernya "kataku sambil memberikan kartu nama

Aku pun berlalu.. " eh mas, ada tulisan email maksudnya apa?" teriak salah satu

sambil menoleh, aku berhenti sejenak, "wuah.. panjang ceritanya, yang penting alamat rumah dan nomor theleponya saja"

seminggu setelah pertemuan itu, Aku termenung sendiri, sambil melihat foto2 pertemuan itu, yang sudah Aku cetak. Kata-kata tentang sebutan "mas", piyayi, kuliah, kebanggaan yang mereka sematkan ke Aku, membuat aku tidak nyaman. Juga tentang email, yang pasti mereka tidak tahu itu apa. Ingatanku juga kembali ke masa kecil, ketika kami berseragam lusuh merah putih, tanpa sepatu (hanya bersepatu kalau hari Senin), berebut buku karena keterbatasan jumlah buku, halaman sekolah yang kalu nggak berdebu di musim kemarau, ya becek di musim hujan, hingga kelas digabung dengan kelas diatasnya atau dibawahnya kalau hujan, karena genting beberapa ruang kelas bocor.

Besuk pagi, Adikku akan mampir ke tempatku sebentar dalam perjalanan pulang dari Malang ke desaku. Kebetulan, aku tulis surat untuk teman2ku saja, yang aku titipkan lewat Adikku besuk.

Buat Ning Dkk

Semoga kebaikan selalu ada pada kalian, suami/istri dan anak kalian semua..

ini foto2 sewaktu kita berkumpul, semoga bisa menjadi kenangan tersendiri.
O,iya, harap kalian mengerti, kalau aku menyesal lanjut sekolah dan kuliah, jika itu membuat Aku menjadi lebih bagi kalian, menjadi Piyayi bagi kalian, menjadi "mas" bagi kalian, aku tetap Wiwid, teman SD. Bagaimanapun juga, dimana saja, adalah nyata, kaliyan teman SDku, gak ada yang berubah. Aku tetap bangga berteman dengan kalian, dengan kondisi apapun.

wiwid











Senin, 25 Agustus 2008

Seperti Lilin


Tak biasanya listrik di tempatku mati. Biasanya dengan sombongnya aku akan bercerita ke banyak teman tentang daerahku, terutama rumahku yang nggak kena giliran pemadaman listrik dari PLN. Namun malam ini beda, Listrik di rumahku padam juga. Yuuhhh

Untunglah aku mempunyai banyak Lilin, memang kepikiran untuk menyimpan, siapa tahu suatu saat butuh. Ternyata malam itu butuh bneran. Lilin segera dinyalakan, ruang pun terang kembali, remang-remang tepatnya. Menikmati suasana remang itu, aku pun manyun, duduk sambil minum teh kotak dan medengarkan radio dari HP.

Secara tidak sengaja pandanganku jatuh ke lilin. Cahaya lilin yang bergoyang-goyang diterpa angin, begitu menarik perhatian, sampai akhirnya Aku memikirkan begitu banyak hal tentang lilin, dan salah satunya adalah teringat tentang bagaimana menyalakan lilin. Jika kita hendak menyalakan banyak lilin, kita tidak perlu menyalakan menggunakan korek api satu persatu. Cukup satu lilin dinyalakan kemudian lilin yang lain mengambil api dari lilin yang telah dinyalakan. Demikianlah lilin bisa berbagai api, tanpa kehilangan api yang telah dimilikinya. Meski banyak lilin dinyalakan dari satu lilin, tapi lilin yang menjadi sumber api itu tak akan pernah kehilangan apinya.

Lilin, api, dan berbagi. Api adalah nilai lebih dari lilin. Bagi lilin, api adalah sesuatu yang menjadikan dirinya berarti. Bagi lilin, api adalah kebaikan, kebajikan yang dimilikinya yang menjadikan si lilin bermanfaat bagi lingkungannya. Meski demikian, banyak lilin yang dinyalakan dari api yang dimiliki lilin lain, tanpa membuat lilin yang dijadikan sumber api kehilangan api. Ketika lilin berbagi nilai lebihnya, yaitu api, ke lilin lain, maka lilin tersebut tidak akan kehilangan nilai lebihnya. Ketika lilin berbagai kebaikan, maka lilin itu tidak akan kehilangan kebaikannya itu.

Seperti kita juga, bangsa manusia. Setiap dari kita, setiap orang, pasti memiliki nilai lebih dan kebaikan yang bermanfaat buat diri dan orang lain, buat lingkungan juga. Kadang, ada orang yang menggunakan nilai lebih dan kebaikannya itu sebagai bagian dari kampanye keakuan, kampanye ego. Kampanye untuk mengesankan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain.

Hal tersebut sah-sah saja, pilihan hidup orang, karena dia yang akan menanggung dari pilihannya itu. Namun jika mau belajar dari Lilin, ada baiknya kalau kebaikan, nilai lebih yang kita punya itu kita tularkan ke orang lain. Dengan demikian makin banyak orang yang memiliki nilai lebih, serta makin banyak yang berbuat baik. Toh, dengan mengajak, mengkondisikan, menginspirasi orang lain untuk berbuat sesuatu yang baik, tidak akan mengurangi kebaikan yang kita perbuat.

Seperti lilin..

Minggu, 24 Agustus 2008

Kucing Meang-Meong…!!!!


Sebuah obrolan terjadi suatu pagi, di warung burjo (bubur Kacang ijo) dekat dengan rumah. Sambil makan Burjo, seorang bapak mengomel terus.

“Benar-benar hari ini kerasa ngantuk, kurang tidur?” kata si Bapak

“Kenapa pak? Lembur?” Pemilik Warung menanyakan ke Bapak itu

“Bukan.. semua gara2 kucng sialan”

“Lha kenapa? Emang kucingnya nyuri makanan Bapak?”

“Bukan.. semalaman kucing peliaranku berisik banget, meang meonggg melulu, lagi musim kawin, wuah dasar kucing sialan!”

“Lhaa terus?”

“Iya, meang mong kejar2an kesana kemari di semua plafon, Hasilnya hari ini ngantuk banget.”

Begitulah selama aku makn isitu, gak ada cerita lain sedikitpun, pokoknya di dominasi oleh kejengkelan terhadap kucing meang meong

Tiba-tiba aku ingat terhadap kepolosan anak tetangga yang masih TK, ketika latihan untuk pementasan drama anak2 beberapa waktu lalu di Balai Desa. Latihan untuk pementasan agustusan. Dia yang harusnya meragakan anjing malah bersuara meong dengan kerasnya, kontan saja semua yang nonton latihan itu menjadi tertawa.

Benar, semua orang tahu, kucing adalah satu-satunya binatang yang bersuara meong. Gak ada binatang lain yang bersuara meong. Kalau demikian, ketika kita mendengar dan melihat ada kucing bersuara meong kenapa kita mesthi marah? Tentunya kita heran dan marah kalau kucing kita bersauara guk guk atau mbekkkk.. Bukankah dari dulu kucing memang sudah bersuara meong?

Terus, kalau kita sudah tahu kucing bersuara meong dan kalau musim kawin, mengapa juga pelihara kucing?

Tidak sadar kita kadang menjadi makhluk egois. Kadang kita menjadi sewot, jengkel dengan menyalahkan sesuatu yang luar diri kita sebagai sebabnya. Padahal kita marah, kalau diteliti lagi bukan karena meongnya si kucing, bukan karena si kucing kawin, tapi karena ego kita, yang kenyamanan kita terganggu. Sumber marah itu, lebih tepat ada di dalam diri kita. Suara kucing dan apapun yang diluar hanya kondisi yang mendorong saja.

Jumat, 22 Agustus 2008

Seperti Karangan Bunga



Seperti juga sebuah karangan bunga Karangan bunga indah jika dilihat secara utuh. Secara utuh sebagai satu kesatuan karangan bunga.

Kita bisa saja melihat satu-persatu, ditelaah satu-satu, maka akan ditemukan bunga yang tangkainya bengkong, berduri, agak layu, bahkan bunga yang tak bagus kalau dilihat sendirian. Tetapi sebagai karangan bunga, sebagai satu kesatuan, tetap saja adalah sebuah keindahan.

Demikian juga dalam menyikapi setiap berakhirnya sebuah kegiatan bersama Atau juga dalam kegiatan bermasyarakat. Bisa juga kita melihat kesalahan satu-satu dari yang kecil dan besar. Kesalahan setiap invidu kita bahas. Tetapi, Bisa juga kita melihat bahwa perpaduan karya bersama, dengan keunikan masing dan tugas masing-masing adalah keindahan.

Cuma Seribu Rupiah

Setiap Jumat, aku menempuh perjalanan ke Salatiga melawati lereng gunung Merbabu yang indah. Berkelok-kelok, naik turun dan membuat capek, tapi terbalas dengan pemandangan yang indah. Itulah sebabnya aku menikmati perjalanan itu.

Rutinitas itu, diikuti dengan rutinitas yang lain, sarapan di warung langganan, di tengah perjalanan. Demikian juga pagi itu. Makan di warung langganan. Begitu selesai, bergegas aku ke Kasir, penginnya duduk lama-lama, tapi perjalanan masih jauh.

“Kembaliannya kurang seribu, Mas, tinggal disini ya? Kan sudah langganan.” Kata Ibu Kasir dan pemilik Warung

“Ha? Kurang?” jawabku

“Iya, gak papa kan Mas, Cuma seribu kok, gak akan jadi miskin dan susah Mas”

“Wooo”

“Gitu yo, Mas, ntar kalu kesini lagi Ibu balikin, kalau gak lupa, kalau lupa ya gak akan jadi miskin buat Mas, gak akan nambah kaya buat Ibu, wong Cuma seribu”

“Iya deh.. makasih Bu” aku berlalu sambil tersenyum

“Sama, hati-hati, Mas”

Segera aku melanjutkan perjalanan. Uang seribu itu tidaklah membebani, toh Cuma seribu, pikirku. Hingga di tengah jalan, Aku melihat anak sekolah berseragam SD lusuh, tanpa alas kaki sedang menangis di tegalan pinggir jalan, sementara seorang ibu nampak bingung dan cemas disampingnya

Iseng, beneran iseng aku hentikan motorku dan bertanya kepada mereka, “ada apa Dik, Bu?”

Keduanya masih bingung, hanya tangis si anak tidak lagi berteriak, tapi sesenggukkan…

Ada apa? Lagian nih jam sekolah kok gak sekolah?”

“Disuruh pulang dulu nyari Simbok, kata si anak dengan sesenggukan”

“Lho, kok disuruh pulang dulu?”

Si Ibu nampak berbisik2 pada si anak, aku malah penasaran. Aku mendekat ke mereka, dengan meloncat dari jalan ke tegalan mereka. Beberapa Ibu-Ibu yang lagi bekerja dilahan itu juga menghentikan pekerjaannya, mereka berdiri menatap kami meski dari jarak sedikit jauh, hanya ibu yang paling tua yang kelihatan mendekat.

“Gini lho, Mas, anak ini memang nakal, sampai nyari Simboknya ke tempat buruh, bikin Aku malu sama teman2 sesama buruh dan sama yang saya buruhi juga”. Kata Ibu itu

Si anak nampak menghentak tidak senang dikatakan nakal. Aku bertanya ke anak itu

“Disuruh pulang siapa tadi dari sekolah?”

“Bu guru..disuruh nyari Simbok”

“Lho, emang kamu nakal ya?”

“Ibu guru marah karena saya belum membayar”

Ibunya nampak menatap si anak sambil bergumam. Tidak senang rupanya

“SPP? Lha kan bisa di bayar bulan depan?”

“Bukan SPP, tapi uang keterampilan?”

“Uang keterampilan?”

“Di sekolah kami diajari membuat ketrampilan dari kertas2, untuk membeli kertasnya disuruh iuaran dua ribu lima ratus.”

“Terus?”

“Hari ini terakhir membayar, padahal Bapak baru pulang besuk dari kerja bangunan di Jogja. Jadi aku belum mbayar, Bu Guru marah, karena aku keseringan terlambat mbayar apapun jugadi sekolah”

“Oww emang belum mbayar sama sekali?”

“Simbok hanya ngasih seribu limaratus”

“Iya Mas, itu duit yang tersisa tadi pagi, sudah aku kasihkan ke dia, Aku pikir Bu Guru mau mengrti, seperti biasanya. Namun hari ini tidak, disuruh pulang, ambil duit dulu.. Lha aku lagi buruh, suami baru pulang besuk, aku yo bayaran ntar sore, setelah pekerjaan selesai, ini benar2 lagi gak bawa duit sepeserpun… teman2 buruh juga sama” akhirnya Ibunya mau terbuka juga

Segera aku raba saku jaketku, masih ada kembalin bensin tapi pagi, lima ribu rupiah, aku serahkan ke anak itu. Aku segera mohon diri ke mereka. Ibu dan anak berteriak terimakasih.

Kejadian itu selalu berdengung diingatan. Cuma seribu rupiah. Beberapa menit sebelumnya dengan tertawa pemilik warung makan mengatakan Cuma seribu rupiah, tidak akan menjadi miskin dan kaya hanya dengan seribu rupiah. Sekarang Anak kecil dengan baju seragam lusuh tanpa alas kaki harus dipulangakan dari sekolah oleh gurunya hanya karena belum mbayar seribu rupiah. Seorang ibu juga cemas karena tidak dapat memulusakn permintaan anaknya, uang seribu rupiah. Di sekolah sana seorang Guru tega memulangkan muridnya hanya karena seribu rupiah, itupun duit ketrampilan, bukan duit pembayaran utama sekolah.

Hanya seribu rupiah…

Saya Ngeblog Lagi



Ijinkanlah saya ngeblog (lagi). Sungguh beruntung sekali saya bertemu dengan teman2 yang memberikan saya banyak inspirasi. Termasuk kemudian saya menemukan semangat kembali untuk aktif menampilkan curhatan saya di dunia maya, pada lembaran yang bernama blog. Setidaknya, pertemanan itu telah sedikit menyembuhkan saya dari traumatic sekian bulan (tahun) yang lalu. Betapa kecewanya saya setelah membaca hasil curhatan saya melalaui cerpen dipermak sedemikian rupa dan muncul di sebuah harian dengan nama orang lain. Untuk itu kepada teman2 yang telah membantu menemukan saya untuk kembali percaya pada komunitas dunia maya, saya mengucapkan terimakasih.

Ijinkanlah saya negblog lagi, saya, hanya ingin belajar menjadi lebih baik dari Anda-Anda semua, guru –guru terbaik saya. di kehidupan ini.

Salam

Triwied.