Sabtu, 19 September 2009

Pucung itu Menjadi Pocong


Bapa pucung cangkemmu marep manduwur

Sabamu Ing sendang

Pencokanmu lambung kiri

Prapteng wisma si pucung muntah kuwaya

Bapa pucung, mulutmu menghadap ke atas

Perginya ke sendang

Bertengger dipinggang kiri

Sampai rumah si pucung memuntahkan air

Satu bait tembang diatas adalah macapat, sebuah bentuk sastra yang unik yang dikenal dari Jawa, yang dibedakan berdasarkan aturan jumlah baris, jumlah suku kata, dan vocal terakhir. Ada banyak bentuknya, salah satunya adalah pucung, seperti yang tembang tertulis diatas, yang mengikuti aturan 12u,7a,8i dan baris terakhir 12a. Selain sebagai bentuk sastra, macapat ini biasa didendangkan, bisa dinyanyikan, sehingga selain sastra sering juga dikenal dengan tembang macapat.

Tembang pucung diatas sering dinyanyikan bapak atau ibu saya menjelang tidur, ketika saya memasuki TK, kemudian saya harus menebaknya apa yang dimaksud dari tembang tersebut. Iya, karena tembang tersebut merupakan bentuk tebakan dalam wujud tembang. Dengan lantang kemudian saya akan berteriak, untuk menjawabnya, yaitu jun (alat untuk ngangsu, ngambil air dari kali, dari tembaga atau kuningan), demikianlah saya mulai mengenal bentuk satra dan tembang jawa lewat pengantar tidur.

Ingatan-ingatan tentang keluhuran bentuk sastra dan tembang, yang didasarkan atas keluhuran budi dan ketinggian budaya peradaban leluhur itu selalu membawa saya ada satu kebanggaan betapa beruntungnya saya dilahirkan sebagai anak bangsa yang berbudaya.

Namun segala memori, idealisme tentang keluhuran budaya itu sepertinya adalah satu keanehan. Betapa tidak, bahkan di Jawa sendiri sekarang orang sudah banyak yang tidak lagi mengenal apa itu pucung dan apa itu macapat. Orang hanya mengenalnya sebagai pernah mendengar, bukan sebagai bagian dari budaya dan peradabannya. Bukankah kebudayaan adalah hasil akal budi yang terekpresi? Jika itu adalah budaya Jawa, mesthinya orang jawa akan mengenalnya dan menjadikannya sebagai media ekspresi perasannya.

Kebanggaan akan keluhuran budaya macapat itu tak lebih hanya kebanggaan karena memiliki, bukan memakainya, padahal sesuatu yang hanya dimiliki, tidak dirawat, tidak digunakan pada satu titik pasti akan rusak dan hilang dari ingatan, berbeda dengan sesuatu yang sering kita gunakan. Sekedar bangga tanpa menggunakan sebetulnya sedang melupakan tanpa mau mengakuinya.

Pada titik yang paling nakal, saya kemudia berpikir, bahwa lebih baik keluhuran budaya nenek leluhur semacam macapat ini digunakan meski harus dibawa oleh bangsa lain, sepanjang mereka tahu kalau budaya itu dari sini, dari tanah yang diwariskan leluhur saya, yang telah dipenuhi dengan kebudayaan itu sendiri. Itu jauh lebih baik agar macapat dan pucung, serta budaya-budaya yang lain tetap memancarkan keluhurannya, tetap memberikan pengabdian pada kemanusiaan dan keharmonisan alam, dua hal yang menjadi cirri khas budaya timur.

Sungguh saya tadinya tak membayangkan, bahwa tembang pucung dan tembang macapat lainnya, sekarang sedang dijadikan pocong oleh generasi yang seharusnya mewarisinya, saya tak tahu, apakah benar-benar sudah mati terus dipocong untuk kemudian dikubur, atau sekedar mati suri mencari tuan baru yang lebih mengharagai keluhurannya. Pucung itu telah menjadi Pocong.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mbah, mocopatan yuk.. :))