Jumat, 28 Desember 2012

Pilihan Tindakan




Setiap pulang kerja, saya harus menempuh perempatan yang selalu macet. Gak separah jakarta, namun cukup membuat ekstra waspada mengingat padatnya kendaraan yang lewat. Pada suatu saat, sebuah kejadian yang membuat saya belajar, dalam perjalan pulang kerja  di perempatan tersebut.

Beberapa meter di depan saya, seorang ibu nampak gugup mengendalikan motornya, kemudian oleng ke kiri menbarak mobil di sebelah kiri. Semakin panik, motornya sempat berhenti sesaat kemudian malah menabrak mobil lagi yang ada di lajur kanannya, sebelum kemudian berhenti karena ditolong pengendara motor lainnya, yang ada disekitarnya. 

Menarik adalah reaksi dari dua pengendara mobil yang tertabrak. Yang satu, spontan berteriak marah, bahkan terus ngomel sampai keadaan sudah tenang dan teratasi. Sementara yang satu lagi, malah secara cekatan keluar dan membantu ibu pengendara motor yang panic tersebut.

Sekilas ini seperti biasa saja. Namun, ini menunjukkan bahwa keadaan luar bukanlah satu alasan terhadap sikap yang seharusnya dilakukan. Ternyata, kita punya pilihan untuk bereaksi terhadap keadaan yang menimpa kita. dengen mendapati kejadian yang sama, yang satu memilih marah dan memaki, satunya memilih menolong, dari sebab yang sama pilihan tindakannya menjadi berbeda. Ini menunjukkan bahwa diri kitalah yang menentukan tindakan apa yang akan dilakukan terhadap keadaan, bukan keadaan yang mengendalikan tindakan kita.

Selama ini mungkin secara tak sadar, kita telah membiasakan bahwa reaksi yang kita lakukan terhadap keadaan yang menimpa kita itu seperti otomatis. Ketika dimaki, kita seperti diwajarkan untuk membalas memaki, sementara kita menjadi lupa bahwa ada pilihan untuk menghindari, menjauhi, diam, membalas pada saat yang tepat, atau tindakan yang lain.

Ada begitu banyak pilihan tindakan dari keadaan yang menimpa kita, kalau kita mau. Pelajaran dari kejadian sepulang kerja.

Jumat, 21 Desember 2012

Jangan Ndeso !




 Saya punya sahabat baik yang sedang giat sekali memulai usaha warung makan. Segala cara dan usaha dilakukan untuk mengenalkan warungnya kepada teman dan sahabat yang lain. Salah satu usaha yang dilakukan adalah selalu meminta kontak blackbeery messenger. Semua kontak di bbm ini, akan diberi broadcast tiap hari tentang menu andalan yang disediakan pada hari tersebut.

Ada peristiwa menarik dan lucu dari kejadian broadcast ini. Suatu hari, menu andalan yang disediakan adalah jangan ndeso, sayuran ala desa maksudnya. Tentu saja, broadcast yang dikirim pun tertuliskan “jangan ndeso”. Salah satu teman yang mendapat broadcast tersebut rupanya kurang berkenan. “mohon maaf pak, kalau selama ini tindakan saya ndeso, kalau emang saya dianggap ndeso dan kurang berkenan ya silakan, saya tidak bermaksud demikian!” jawaban dari broadcast tersebut.

Ya begitulah, kesalahan pahaman ketika kita menerima informasi kadang bermula dari ketidak mampuan diri kira melihat kata, kalimat atau ucapan diluar apa yang kita pikirkan tentang makna dari kata, kalimat atau ucapan tersebut. Kita telah terlatih menerima makna  “sesuatu” lewat indera kita, mencerapnya, dan cerapan dari ilmu, lingkungan, pengetahuan, budaya dan pengaruh2 lainnya itu membentuk perasaan yang pada akhirnya membangun kesadaran tentang “sesuatu” itu.

Contohnya adalah, kata jangan dan ndeso tersebut. Mungkin terbiasa dengan kata “jangan” berdasarkan pencerapan, pengetahuan dan kesadaran terbangun dalam diri bahwa jangan itu maknanya ya “jangan, tidak boleh”. Ndeso, dipahami sebagai “rendah, jadul, kurang maju dll” padahal makna lain bisa dipahami sebagai sesuatu yang bernuansa pedesaan.

Penting kiranya bagi kita untuk untuk mawas diri, ketika menerima ucapan, atau memahami kata-kata. Jangan-jangan persepsi yang kita bangun dalam diri kita terhadap “sesuatu” adalah hasil dari penerimaan, dan pencerapan kita dari lingkungan, ilmu pengetahuan tradisi dan budaya yang terus menerus kita terima. Mungkin ada yang lain di luar apa yang kita pahami terhadap makna dari “sesuatu” itu. Lebih parah kan kalau “sesuatu” itu dipahami sebagi hal yang benar, dan ternyata ada kebenaran yang lain, yang kita tidak tahu semata-mata karena kita tidak mendapat pencerapan pengetahuan, lingkungan, ilmu yang lain. (saya tidak mengatakan “jangan ndeso!” terhadap sikap seperti ini)