Sabtu, 19 September 2009

Paku yang Tertancap


Cerita ini sudah lama saya dapatkan. Kalau tidak salah saya membacanya pada sebuah majalah anak-anak sewaktu masih SD. Lama cerita ini mengendap dalam pikiran saya sampai kemudian teringat kembali ketika mendengar irama yang dihasilkan tukang kayu yang bekerja memperbaiki rumah tetangga, sewaktu memaku. Ingatan akan cerita ini kembali muncul, setidaknya demikianlah yang saya ingat.

Pada suatu waktu, hiduplah seorang kakek dengan cucunya. Cucunya ini sangat nakal sehingga sering membuat keonaran. Setiap saat dinasehati, namun selalu diulang lagi. Sampai pada satu ketika, si kakek mempunyai ide, untuk melatih cucunya dengan agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Si kakek meminta cucunya, apabila membuat kesalahan, kenakalan, ataupun kejahatan, maka diharuskan menancapkan paku di tiang kayu belakang rumah. Apabila cucunya berbuat kebaikan, maka paku tersebut boleh dicabut. Demikian seterusnya, maka si cucu tiap hari kebanyakan memaku terus, karena masih sering berbuat keonaran dan kesalahan. Hanya sedikit paku yang dicabut, karena memang hanya sedikit kebaikan yang bias dia lakukan.

Melihat jumlah paku yang makin banyak, cucu tersebut manjadi panik, sehingga dia mulai mengubah sikapnya, untuk melakukan banyak kebaikan. Sedikit demi sedikit paku-paku yang telah tertancap berkurang, hingga pada suatu ketika tiang kayu tersebut bersih dari paku.

Si cucu menunjukkan hal tersebut kepada kakeknya. Kakeknya tentu saja tersenyum senang namun tetap mengingatkan kepada cucunya, bahwa tiang tersebut tetap menunjukkan bekas paku, meski pakunya sudah tercabut. Tiang kayu tersebut tetap tidak bisa pulih seperti sediakala.

Cerita itu mungkin sederhana, namun bagi saya tidak. Cerita tersebut menggambarkan bahwa setiap kesalahan, kejahatan, ketidakbaikan, memiliki efek yang panjang, dan kita tidak dengan mudah melarikan diri, atau menghindar dari akibatnya. Bhakan ketika kita sudah melakukan begitu banyak kebajikan saja, akibat dari kesalahan dan kejahatan kita tetap harus kita tanggung.

Setiap bentuk perbuatan akan menimbulkan akibat, hal ini adalah hukum universal yang berlaku dimana saja, lintas waktu, lintas batas. Tak akan ada yang bisa menghindar dari akibat perbuatan kita, entah baik, maupun buruk. Jika demikian maka alangkah pentingnya kita menjadi waspada, terjaga dari setiap niatan kejahatan, sekecil apapun. Karena setiap bentuk kejahatan pasti akan berakibat yang bahkan tidak akan bisa dihindari meski kita sudah bertobat, atau kita sudah menjadi suci dengan kebajikan kita.

Sangat naïf juga jika kita menyandarkan pada ampunan. Setiap kesalahan kita kemudian meminta ampunan kepada Yang Maha Kuasa. Sikap yang demikian akan membiasakan kita pada kesalahan-kesalahan karena kita akan berkesempatan meminta ampunan. Akibat dari satu perbuatan tak bisa dihindari, hasil dari kejahatan juga sangat kompleks. Apakah ketika kita meminta ampunan akan mampu mengembalikan keadaan seperti semula? Apakah akan menghindari dari sikap permusuhan dan kebencian dari pihak lain? Apakah akan bisa mengembalikan kerugian spiritual dan duniawi dari pihak yang m,enjadi objek kesalahan dan kejahatan kita? Nyatanya tidak. Meminta ampunan hanyalah sarana untuk mengingatkan niatan kebaikan kita, tapi tak akan bias menghilangkan bekas paku dari kejahatan kita.

Cerita sederhana tentang kakek dan cucunya tersebut, adalah gambaran sederhana dari sikap kita, pikiran kita, ucapan kita, yang semesthinya harus terjaga setiap saat. Sesepuh di kampung saya berkali-kali mengatakan, sakbeja-bejani wong kang lali isik beja wong kang eling lan waspada. Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada.

*ketika sadar kata maaf saja tak cukup untuk kesalahan, mohon maaf lahir batin...

Pucung itu Menjadi Pocong


Bapa pucung cangkemmu marep manduwur

Sabamu Ing sendang

Pencokanmu lambung kiri

Prapteng wisma si pucung muntah kuwaya

Bapa pucung, mulutmu menghadap ke atas

Perginya ke sendang

Bertengger dipinggang kiri

Sampai rumah si pucung memuntahkan air

Satu bait tembang diatas adalah macapat, sebuah bentuk sastra yang unik yang dikenal dari Jawa, yang dibedakan berdasarkan aturan jumlah baris, jumlah suku kata, dan vocal terakhir. Ada banyak bentuknya, salah satunya adalah pucung, seperti yang tembang tertulis diatas, yang mengikuti aturan 12u,7a,8i dan baris terakhir 12a. Selain sebagai bentuk sastra, macapat ini biasa didendangkan, bisa dinyanyikan, sehingga selain sastra sering juga dikenal dengan tembang macapat.

Tembang pucung diatas sering dinyanyikan bapak atau ibu saya menjelang tidur, ketika saya memasuki TK, kemudian saya harus menebaknya apa yang dimaksud dari tembang tersebut. Iya, karena tembang tersebut merupakan bentuk tebakan dalam wujud tembang. Dengan lantang kemudian saya akan berteriak, untuk menjawabnya, yaitu jun (alat untuk ngangsu, ngambil air dari kali, dari tembaga atau kuningan), demikianlah saya mulai mengenal bentuk satra dan tembang jawa lewat pengantar tidur.

Ingatan-ingatan tentang keluhuran bentuk sastra dan tembang, yang didasarkan atas keluhuran budi dan ketinggian budaya peradaban leluhur itu selalu membawa saya ada satu kebanggaan betapa beruntungnya saya dilahirkan sebagai anak bangsa yang berbudaya.

Namun segala memori, idealisme tentang keluhuran budaya itu sepertinya adalah satu keanehan. Betapa tidak, bahkan di Jawa sendiri sekarang orang sudah banyak yang tidak lagi mengenal apa itu pucung dan apa itu macapat. Orang hanya mengenalnya sebagai pernah mendengar, bukan sebagai bagian dari budaya dan peradabannya. Bukankah kebudayaan adalah hasil akal budi yang terekpresi? Jika itu adalah budaya Jawa, mesthinya orang jawa akan mengenalnya dan menjadikannya sebagai media ekspresi perasannya.

Kebanggaan akan keluhuran budaya macapat itu tak lebih hanya kebanggaan karena memiliki, bukan memakainya, padahal sesuatu yang hanya dimiliki, tidak dirawat, tidak digunakan pada satu titik pasti akan rusak dan hilang dari ingatan, berbeda dengan sesuatu yang sering kita gunakan. Sekedar bangga tanpa menggunakan sebetulnya sedang melupakan tanpa mau mengakuinya.

Pada titik yang paling nakal, saya kemudia berpikir, bahwa lebih baik keluhuran budaya nenek leluhur semacam macapat ini digunakan meski harus dibawa oleh bangsa lain, sepanjang mereka tahu kalau budaya itu dari sini, dari tanah yang diwariskan leluhur saya, yang telah dipenuhi dengan kebudayaan itu sendiri. Itu jauh lebih baik agar macapat dan pucung, serta budaya-budaya yang lain tetap memancarkan keluhurannya, tetap memberikan pengabdian pada kemanusiaan dan keharmonisan alam, dua hal yang menjadi cirri khas budaya timur.

Sungguh saya tadinya tak membayangkan, bahwa tembang pucung dan tembang macapat lainnya, sekarang sedang dijadikan pocong oleh generasi yang seharusnya mewarisinya, saya tak tahu, apakah benar-benar sudah mati terus dipocong untuk kemudian dikubur, atau sekedar mati suri mencari tuan baru yang lebih mengharagai keluhurannya. Pucung itu telah menjadi Pocong.

Segelas Teh Pahit




Pernahkah anda menjumpai minuman yang tak sesuai dengan keinginan anda? Semisal ketika anda mengharapkan teh yang manis, ternyata anda mendapatkan teh tawar dan pahit. Tentu saja hal ini menjadikan kita tidak nyaman. Sering kita kemudian menyalahkan teh tawar sebagai penyebab ketidaknyamanan tersebut, benarkah demikian?

Ketidaknyamanan itu tidaklah disebabkan oleh teh pahit tersebut, tetapi karena ketidak cocokan antara keinginan kita dengan apa yang kita dapatkan. Ketika kita mengharapkan teh manis, kita justru mendapatkan teh tawar. Kalau teh tawar yang menyebabkan kita tidak nyaman, terus kenapa orang lain yang mendapatkan teh tawar ada yang senang? Iya karena orang tersebut menginginkan teh tawar dan mendapatkan teh tawar. Ketidakcocokan antara keinginan dan apa yang kita dapatkan itulah yang menyebabkan kita tidak nyaman dan tidak happy.

Bagaimana jika kita mendapatkan kasus tersebut? Ada dua jalan yang bisa kita ambil. Pertama ubah teh tersebut menjadi seperti keinginan kita, dengan menambah gula atau menggantinya dengan minuman teh yang manis. Dengan demikian kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan, dan menjadi senang. Bagaimana jika kita tidak bisa mengubah teh tersebut seperti yang kita inginkan? Masih ada jalan yang kedua, yaitu kita harus mengubah keinginan kita, mengubah arogansi pikiran kita yang mengharuskan mendapat keinginan kita, dengan cara menerima, menyadari, nyatanya yang ada adalah teh pahit. Sepanjang kita terus-menerus mengingat keinginan kita tentang teh manis, dan faktanya kita mendapat teh pahit maka kita akan tidak nyaman, tidak senang. Karena penyebab ketidaknyamanan tersebut adalah keinginan kita, maka jalan yang diambil adalah mengendalikan keinginan kita, mengubah keinginan kita, menerima realitas yang kita dapatkan.

Bukan sekedar teh, dalam hidup ini kita akan sering mendapatkan bahwa antara keinginan dan kenyataan yang kita dapatkan tidaklah sama. Ketika itu terjadi kita menjadi tidak nyaman, tidak senang. Semakin kita ingin, semakin menyakitkan, semakin tidak menyenangkan dan menderita. Demikian juga, ada dua tawaran jalan yang bsia diambil. Pertama ubahlah agar sesuai keinginan kita. Dalam konteks duniawi kita berhak untuk bersuaha mengubah agar sesuai keinginan kita. Namun hal ini tidaklah mudah. Meski sudah banyak berusaha, kita masih juga mendapatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Jika itu yang terjadi maka kita harus memotong akar ketidaknyamanan itu, yaitu keinginan kita. kitalah yang harus berubah dengan lebih menerima realitas.

Selamat menikmati teh pahit anda!!