Senin, 24 Juni 2013

Ada Banyak Kesempatan





Seorang teman baik yang kebetulan sedang  di Jogja, menyampaikan keinginannya untuk mencoba makan Mie jawa., kuliner Jogja yang khas. Tentu saja, dengan senang saya mengajaknya ke salah satu tempat makan Mie Jawa yang cukup terkenal, di daerah alun-alun utara.  

Tempatnya sangat ramai, sehingga sudah biasa bagi pembeli bakmi Jawa di tempat ini untuk berbagai meja. Demikian juga kami malam itu. kami harus berbagi dengan dua orang bapak.  Dari pembicaraan yang terdengar, kami tahu mereka berdua adalah teman akrab sejak lama.

Karena satu meja, kami tentunya saling bertegur sapa. Segan juga, mengingat usia beliau yang diatas kami, beliau sudah kuliah ketika kami belum lahir J. Dari obrolan tentang porsi bakmi jawa di tempat ini yang semakin berkurang, hingga data kuliner Jogja yang layak dikunjungi. Obrolan berlangsung santai, akrab, meski kami sebetulnya tidak saling mengenal. Dari lelucon bahwa, mengenal kuliner Jogja hanya setelah bekerja, karena sewaktu kuliah tak sempat mencari, plus emang gak punya duit, daging-daging yang pernah dimakan, sampai bagaimana beliau berdua ini menghidupi biaya hidup dengan melatih taekwondo ketika kuliah.

Semua mengalir begitu saja. Sampai akhirnya beliau berpamitan untuk melanjutkan mencari tempat-tempat memorable semasa kuliah dulu. Kami pun bergegas untuk melanjutkan acara lain. Namun betapa kagetnya, ketika ternyata beliau sudah membayar makan kami. Kami mencoba menanyakannya, namun dengan kalem beliau menjawab “Kami pernah muda seperti kalian, berjuanglah, pada saatnya nanti kalian akan memetiknya”

Tak pernah membayangkan sebelumnya, bagaimana kami ditraktir makan oleh orang yang tidak dikenal sebelumnya. Senang tentu saja. Namun lebih dari itu, kami mendapat pelajaran bahwa, ternyata perbuatan baik itu bisa dilakukan kapanpun. Sering kita bertanaya, kapankah ada kesempatan berbuat baik? Kesempatan itu ada kapanpun, tinggal kita mau atau tidak, atau kita cukup peka atau tidak bahwa kesempatan itu selalu ada.

Kapanpun, kita mau dan mampu, kita bisa membantu menyeberang jalan untuk orang tua atau tuna netra, kita bisa beli makanan berlebih sedikit dan sebagian kita berikan kepada tuna wisma, kita bisa berbagi payung, memboncengkan teman yang kebetulan tak ada kendaraan. Banyak sekali kesempatan itu. tak terhitung! dan ada saja orang-orang yang bisa menjadi obyek perbuatan baik setiap saat, tak harus kenal, tak harus akrab!

Terimakasih telah diingatkan akan begitu banyaknya kesempatan kebaikan ini.

Jumat, 14 Juni 2013

Melihat Bintang





Pada sauatu ketika, daerah tepat tinggal saya mati listrik di malam hari. Tentu saja suasana menjadi gelap. Suasana menjadi sepi.  Orang enggan keluar, tanpa lampu kampung pun serasa kampung mati. Hanya ada titik-titik api kecil dari dalam rumah, menggunakan penerangan sementara, entah lilin atau lampu baterai.

Bosan dalam rumah, saya memilih untuk duduk-duduk  di luar dengan beberapa teman. Kebetulan samping kampung kami masih beruapa area persawahan. Meski gelap tanpa lampu, suasana malam itu cukup terang, karena bulan mendekati hari purnama, dan tanpa mendung.

Lagi asyik ngobrol, satu keluaraga kecil tetangga datang ke tempat kami.Bapak, Ibu dan seorang anaknya.  Anak yang masih berusia TK itu nampaknya takut gelap, terbukti dengan rewel dan menggigil. Ibu anak tersebut mengendongnya dengan penuh kesabaran, sementara si Bapak tampak mencoba menenangkan anaknya. Mereka kemudian duduk tak jauh dari kami duduk ngobrol.

Si Bapak tersebut kemudian menunjuk langit seraya menoleh kepada anaknya, ‘liat itu Adik, banyak bintang disana, ayo dihitung, ada berapa jumlahnya ”. Si anak nampak mengintip dari pelukan Ibunya, dalam rasa ketakutan, nampak wajah keingintahuannya. ‘Ayo adik hitung, banyak sekali bintang disana bukan? kalau nggak ada malam, bintang itu gak keliatan lho, jadi kenapa Adik harus takut malam dan gelap ?’ lanjut si Bapak.

Anak itu kemudian nampak antusias melihat bintang, sambil serasa kagum.mungkin ini pertama kalinya dia memperhatikan betul benda langit bernama bintang. Belum hilang wajah antusias, Bapak itu melanjutkan ‘lihat adik, ditengah sawah, banyak kunang-kunang menari, bagus bukan ? kalau tak ada malam dan gelap, kita tidak bisa melihat kunang-kunang menari lho’ terang si Bapak. Anak itu nampak lebih antusias, keluar dari gendongan ibunya, dan mulai meninggalkan rasa takutnya terhadap gelap.

Mendengar obrolan itu, saya menjadi ingat nasehat ibu di masa kecil, bahwa tak perlu takut dengan malam. Hanya malam yang bisa membuat langit nampak indah penuh bintang. Ingatan itu menjadi lebih jelas dengan mendengar obrolan tetangga kepada anak kecilnya.

Begitulah, kadang kita merasa takut menghadapi sesuatu yang tidak diharapkan, yang jauh dari ideal yang kita inginkan. Sementara kadang di balik itu semua, jika kita mau menghadapinya, kita justru mendapatkan banyak keindahan yang baru mucul setelah kita merasakannya. Kadang kita dihantui oleh perasaan kita sendiri, berpikir betapa beratnya melewati sesuatu yang gelap, sementara justru gelap itu menunjukkan betapa langit itu indah dengan bertabur bintang. Padahal gelap malam sendiri kita tak bisa menghindar, harus melewatinya. Tinggal kita akan melewati dnegan pebuh ketakutan, atau dengan penuh keindahan, tergatung kita sendiri.