Di daerah tempat tinggalku, di Temanggung, ada tradisi Nyadran. Nyadran intinya adalah sebuah pesta adat untuk memberikan syukur terhadap Tuhan terhadap apa yang sudah diraihnya, serta berharap terhadap perbaikan hidup dimasa berikutnya.
Nyadran ini bisa dilakukan dengan alasan yang bermacam, namun memilikik kemiripan, misalnya nyadran Kuburan, yang kemudian diikuti membersihkan makam leluhur olah para ahli warisnya, nyadran tempat2 yang dikeramatkan, nyadran mata air, atau sekedar nyadran yang disesuakain pada event tertentu, misalnya bulan agustus bersamaan dengan peringatan hari kemerdekaan RI.
Nyadran dilakukan juga berdasarkan hari tertentu pada bulan tertentu menurut kalender Jawa, misalnya Jumat Kliwon atau Jumat Pahing pada bulan Ruwah, atau hari yang lain di bulan lain berdasarkan tradisi adat masing-masing kampung.
Di kampung simbahku tinggal, terdapat tradisi nyadran Kali, nyadran untuk mata air. Sebetulnya kearifan lokal yang terjandung dari upacara ini adalah rasa syukur warga setempat terhadap mata air yang muncul, yang sangat bermanfaat terhadapa hidup warga kampung.
Namun sayang sekali, rasa syukur itu selalu terjebak pada upacara2 ritual semata, dan kemudian lupa kearifan yang lain. Nyadran hanya dipandana sebagai seuatu keharusan adat dan tradisi tanpa diimbangi dengan pengetahuan tentang alam yang cukup.
Akibatnya, tiap tahun nyadran dilakukan, namun perusakan alam jalan terus. Pohon2 besar2 bertumbangan, digantikan tanaman yang dianggap lebih produktif. Bahaan areal sekitar mata air juga tidak dilarang untuk didirikan bangunan beton.
Orang lupa, ritual semata tidak dapat menjawab dan melawan kodrat alam. Air, tanah, pepohonan, dan lingkungan besar memiliki hukumnya sendiri. Hukum alam, dan kita manusia semesthinya bisa menyelaraskan kepentingan hidup manusia dengan hukum alam. Jika tidak bencana tinggal menunggu waktu.
Itulah ironi dari nyadaran di kampung tempat tinggal simbahku. Nyadran tahun ini hanya berupa pesta di bekas mata air. Mata air atau tuk dalam bahasa jawa, yang tadinya melimpah dan ada puluhan, sekarang tersisa tak lebioh dari 5 mata air. Yang lain tinggal berstatus sebagai bekas mata air.
Semoga kedepan, masyarakat menjadi sadar bahwa, segala doa dan ritual apapun, dalam bahasa apapun hanya akan bermanfaat jika diimbangi dengan pengetahuan tentang Hukum alam itu. Menyeleraskan kepentingan manusia dengan hukum alam, itulah sebetulnya inti dari upacara nyadran. Jangan sampai kejadian Nyadran suatu hari nanti adalah berupa peringatan terhadap matinya kali dan mata air, hanya mendoaakan kali yang sudah mati.
1 komentar:
itulah kekayaan budaya kita,baik atau buruk tergantung pada penyikapan kita terhadap sesuatu.
yang pasti nenek moyang telah mengajarkan bagaimana mengucap syukur terhadap apa yang telah diberikan Tuhan.
Posting Komentar