Rabu, 03 Desember 2008

Buku Tanpa Cover


Buku itu sebetulnya gak terlalu tua, namun karena covernya hilang, bahkan sobek hingga daftar isi maka keliatan kucel. Buku itu kepunyaan salah seorang temanku. Temanku sangat mengagummi isi buku itu, bahkan sangking sayangnya sama buku tanpa cover itu, dia bertekad tidak akan menyerahkan buku itu kepada siapapun.

“Buku itu berisi tentang bagaimana kita menyikapi hidup Bicara kehidupan sehari-hari, bagaimana kita menjadi bergembira dengan keadaan yang kita dapatkan.” Seru temanku. Itulah kata2 yangs erring aku dengar setiap dia menceritakan isi buku itu.

“Terbukti kata buku itu. Selama ni kita salah, selalu menyalahkan orang lain atas kemalangan yang kita dapatkan, tapi kita lupa bahwa kita sendiri harusnya melihat kedalam dulu, apakah kita sudah melakukan yang terbaik Jangan2 kamu yang tidak jelas membuat pesanan.” katanya menegurku setelah aku marah kepada penjual warung makan yang lambat memenuhi pesananku

Dia juga menegurku ketika aku menyesali jemuranku yang kehujanan.. “Terus mau kamu apakan? Kamu memangis dan meraungpun tak akan membuat cucianmu kering . Yang terpenting adalah bagaimana kamu menyiasati segera karena cucianmu basah. Yang lalu sudah tidah bisa berubah, tapi kamu bisa membuat sesuatu yang berbeda untuk masa depan dengan tindakan saat ini. Demikian kata buku itu” katanya dengan bijak

Hidup ini pilihan, setiap pilihan mengandung resiko, yang penting kamu bertanggungjawab dan siap menerima konskuensi dari pilihan hidupmu. lagi-lagi dia bijaksana banget ketika menesehatiku ketika aku bimbang, mau liburan kemana akhir tahun ini. Tentu saja tak lupa memamerkan bahwa buku rusaknya itu mengajarkan itu semua.

Mendadak dia menjadi orang yang sangat bijak. Hanya berbekal buku itu. Buku tanpa cover. Sampai pada satu ketika aku menemukan buku yang lengkap dngan covernya, disebuah kios buku bekas. Aku yakin buku itu sama, setelah melihat sekilas isinya, kira-kira sama dengan yang diceritakan temanku. Hmm.. tentu ini berita yang sangat menggembirakan buat temanku itu.

Sepulang dari kios buku itu, aku langsung ke rumahnya, seraya pamer “Kayaknya kebjaksanaanmu akan aku saingi, lebih bahkan, soalnya aku dah dapat bukunya, lengkap dengan covernya”

Matanya berbinar, kemudian merampas bukuku, dia mengamati covernya dengan tatapan menyelidik. “Kalau kamu tidak keberatan biaralah aku pinjam dulu sebentar, sehari saja, siapa tahu ada berbeda.” Katanya memohon

Aku sama sekali tidak keberatan, mengingat aku belum akan membaca buku itu secepatnya. Namun karena sudah seminggu tak ada kabar, aku mulai resah. Terpaksa seminggu setelah itu aku ke rumahnya untuk mengambil bukuku, tapi dia sedang tidak ada dirumah. Beberapa teman melaporkan semnggu ini juga cerita kalau dia tiba-tiba menjadi pemurung, dan hilang bijaknya. Ah, barangkali dua buku itu isinya beda, jadi dia lagi belajar lagi, pikirku. Sampai pada suatu sore dia datang ke rumahku..

“Buku ini benar sama persis, nih aku kembalikan, sekalian bonus buku tanpa coverku” katanya

“Wah, pas dong, mesthinya kamu suka” senyumku

“Justru itu, aku gak nyangka, berhati-hatlah membaca buku itu” katanya kali ini serius

“Lho emang kenapa? Bukannya kamu yang selalu mendorong aku untuk mengikuti buku itu?”

“Itu, dulu, ketika aku belum tahu covernya”

“Memang ada apa covernya?”

“Gak nyangka, ternyata buku itu ditulis oleh penulis, mengambil dari sumber yang tidak tepat dengan aliran kita, ajaran yang kita anut” katanya pasrah

“Lho, kalau baik kenapa tidak?”

“Mungkin itu baik, tapi bukan dilakukan oleh ajaran kita, itu berbahaya.” Dia nampak putus asa melihat itu semua, sambil berlalu dia berucap, “Seandainya itu ada di ajaran kita, sayangnya bukan, berhati-hatilah membaca buku itu.”

Dia berlalu. Aku terhenyak.Dia yang selama ini memberkan banyak petuah bijak bersumber buku itu, ternyata menjadi tidak lagi percaya setelah tahu bahwa buku itu ditulis bukan oleh kelompoknya. Susah ternyata untuk tidak menghakimi buku dari covernya. Kita seua memang demikian, secara tidak sadar sering melihat masalah hanya sebatas simbol, tanda, atribut atau cover sebagi sesuatu yang penting untuk diterima atau ditolak, dibenci atau disuka, dan melupakan esensi yang sesungguhnya.

Kamis, 27 November 2008

Balada Gorengan



Barangkali anda setuju dengan pendapatku, jika hujan gerimis,menikamati sore setalah seharian beraktifitas, salah satu pilihan kegiatan yang nikmat adalah minum teh atau kopi hangat, ditemani gorengan yang masih hangat juga. Sekali lagi gorengan, bukan penggorengan. Bisa saja tahu bacam goreng, tempe goreng, pisang goreng, ketela, sukun, bakwan atau jenis gorngan yang lain..

Makanan ini termasuk makan murah meriah, merakyat, disukai semua kalangan, lintas SARA, dan bagi aku, gampang didapat, soalnya disepanjang jalan dekat aku tinggal banyak yang jualan.

Maka jika pulang tak jarang aku sempatin mampir ke penjual gorengan, dan dengan semangat membuat teh atau kopi hangat, apalagi jika gerimis atau hujan, maka menikmati gorengan dan minuman itu serasa ada di dunia lain.

Pengalaman suatu sore, ketika lagi pada keadaan ingin sekali menikmati gorengan dan minuman hangatku. Maka dengan penuh semangat segera diadakan perburuan gorengan. Gerimis yang turun bukan halangan. Justru menambah rasa ingin menikmati gorengan.

Ditengah semangat dan rasa ingin yang luar biasa, kekecewaan pertama aku dapat.. Penjual langganan yang pertama ternyata sudah tidak ada lagi yang tersisa. Lanjut ke penjual berikutnya, dan jawabannya sama, sudah habis. Akhirnya sepanjang jalan, aku jelajahi, ada yang habis, ada yang nggak jualan.

Baru saat itu aku ngerasa luar biasa kecewanya, karena tidak dapat apa yang aku inginkan, gorengan. Betapa ketika rasa ingin sudah demikian memuncak, air liur yang menetes hanya sebatas membayangkan saja, dan apa yang kita idam-idamkan tidak dapat, ternyata kecewa besar.

Tentu saja segala sumpah serapah dan omelan aku layangkan. Kepada gorengan, kepada penjual gorengan, kepada gerimis, meski omelan itu hanya lewat mimic muka dan berdesis. Baru bisa keluar segala kekecewaan dan serapah itu ketika sudah sampai di rumah.

“Napain ngomel, Bung? sambut teman serumahku

“Gila, semua gorengan di jalan ini sudah nggak ada lagi,” sungutku

“Haha, gagal makan gorengan?”

“Iyah gorengan sialan, mana penjulanya juga gak nyisain sedikitpun buat aku”

“Ah kau bung, napa gorengan yang kau salahkan? Benda mati lagi.. apalagi penjual gorengan tuh, kasihan, mana mungkin bisa tahu jalan pikiranmu”

“Setidaknya kan aku sudah langganan, mesthinya dia tahu”

“Ah kamu, pernah berpikir seandainya kamu tidak ingin makan gorengan, apakah kamu merasa tersikasa, kecewa, menderita?”

Gerimis mulai membesar, teh yang aku seduh juga sudah terhidang di depanku. Mengamati bulir hujan dan merasakan kehangatan teh, pikiranku masih terbawa ke gorengan. Seandainya ada gorengan.. hhhhmmm., tapi tiba-tiba akal sehatku mencoba mencerna obrolan dengan temanku. Dia benar. Seandainya aku tidak punya keinginan yang sangat, aka aku tidak akan begitu kecewa. Keinginan itulah sumber kekecewaanku. Kalau gorengan yang bikin aku kecewa, napa orang lain tidak kecewa seperti aku? Karena mereka tidak meninginkannya. Benar kata temanku, keinginan itulah sumber kekecewaan.

Jumat, 21 November 2008

Kidung Wuyung


Kidung wuyung



wong manis
sinambi nyawang tetesing gerimis
binareng sore lembayung
dak kirim kidung wuyung

supaya wengi iki
ing telenging ati
kabeh suara sanubari
linambaran katresnan suci

enggal jawaben kabeh rasaku
kareben nyawiji karo nafasku
sajiwa manunggal bebarengan lumaku

Kamis, 20 November 2008

Kunthing dan Laskar pelangi



Buku fenomenal. Buku Laskar pelangi karya Andrea Hirata itu telah menuai banyak pujian. Ada banyak nilai yang bisa dipelajari disana. Tentang persahabatan, ironis kehidupan, cita-cita, dedikasi guru yang luar biasa, mimpi dan terutama adalah optimisme bagaimana mewujudkan mimpi. Atas dasar begitu banyak inspirasi yang aku dapatkan dari buku itu, maka aku pun berniat berbagi, terutama kepada teman-temanku yang ada di kampung. Salah satunya kepada Kunthing, teman SD. Nama asli sebenarnya Riyanto, bagus juga, tapi karena kurus dan kucel maka dipanggil kunthing, (sebutan orang Jawa untuk sesuatu yang tumbuhnya tidak maksimal). Sore ini aku datang ke rumahnya

“Gimana Thing, pendapatmu, bagus bukan?”

“O iya cukup bagus buat orang sepertimu, aku baca dua tiga kali masih bingung” jawabnya

“Setidaknya kau terinspirasi pastinya..”

Dia tertawa bentar, terus nyeruput kopi yang di buat istrinya. “Buku itu telah membuat kamu sombong, secara tdak langsung kamu mau bilang bahwa kamu sudah berkelas dengan membaca buku yang bahasanya bukan untuk orang seperti aku, hanya untuk orang-orang yang merasa dirinya hebat semata-mata kuliah” lanjutnya

“Ah, itu bagus, aku hanya mau berbagi kepada teman lama”

“Gini lho wid, kamu mbok ya nyadar, temanmu ini hanya lulusan SD, buku itu bukan untuk kami-kami, mungkin kamu akan membaca dan merasa senang karena kamu tahu apa yang dia omongkan.”

“Emang kamu nggak ngreti?”

“Ya bagaimana mungkin, alam akal sehatmu saja mesthinya kamu ingat, ketika para laskar pelangi sudah membicarakan lagu2 bethoven, aku sampai sekarang gak pernah tahu lagu apaan itu, apakah lebih baik dari didi kempot atau kalah heboh, Ketika lascar pelangi berbicara postulat Einstein, aku gak ngreti apa memang ada teori kayak gitu, aku hanya inget dulu kita di SD belajar angin laut, angin gunung, gerhana matahari, dan it –itu juga yang keluar di Ebtanas. Ketika buku itu bicara perumpamaan laksana menara kembar, aku hanya tahu gunung kembar”

Menghela napas sebentar kemudian dia melnajutkan lagi “Ketika mereka bermain tabla hingga 30 tabla, juga ada latihan band, kita tahu jaman kita yang sudah tahun 90an saja hanya bisa membayangkan alat-alat musik itu.. sekolah miskin tapi punya alat musik sebanyak itu, maaf Wid buku itu Cuma jadi tertawaan buat orang kayak aku yang benar2 miski”

Aku terhenyak, sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya hal itu muncul dari otak Kunthing, dari dulu Kunthing memang anak yang pragmatis. Sebenarnya aku berbagi buku itu agar ada semangat meraih lebih buat dia, namun justru aku yang diceramahi.

“Mungkin mereka beruntung Ting, punya guru yang berdedikasi” lanjutku

“Iyah kamu benar Wid, nasib kita lebih tragis, punya empat guru untuk satu SD untuk ratusan siswa, dan dari empat guru hanya satu yang lulusan SPG, sekolah pendidikan guru, tiga lainnya adalah Guru benteng Pancasila, kalau mereka berkualitas, tak mungkin kamu mogok sekolah dulu.”

Hehhe, kunthing benar, laskar pelangi sangat beruntung punya guru yang berdedikasi, kami dulu punya empat guru, 3 diantaranya adalah guru benteng pancasila, guru yang hanya bermodalkan “setia pada Pancasila” demi kepentingan politik orde baru, padahal guru-guru ada yang bahkan Sekolah Rakyat saja tidak lulus.

Saking parahnya kami dulu mogok sekolah, gara-gara seorang guru mengoreksi hasil ujian Catur Wulan dengan ngawur, jawabannya hampir nggak ada yang benar, sementara kami tahu persis kalau guru itu ngawur karena semua materi ada di buku pelajaran..

“Bukan hanya guru Wid, nasib mereka juga lebih baik, diantara mereka ada yang kuliah bahkan sampai di luar negeri, sementara kita yang sekolah di atas tahun 90an disini, hanya bisa melihat dengan kagum para mahasiswa yang KKN di desa kita, desa kita baru melahirkan sarjana tahun 2005. Diantara mereka ada yang jadi ketua DPRD, diantara kita nggak ada satu pun yang sekedar jadi ketua RT, diantara mereka ada yang jadi tokoh seni budaya, kita hanya punya teman yang ahli kuda lumping dengan nasib yang terus menerus nungging tidak jelas”

“Betul Thing, mereka jauh lebih beruntung daripada kita.”

“Hidup itu relaistis Wid, jangan kira orang sperti aku tidak punya keinginan lebih, tapi kami realistis, daripada mimpi terus menerus, lebih baik kita bangun tidur dan menjalani hidup. Kita semua mungkin gagal meraih pendidikan yang cukup, tapi kita bisa hidup, bisa bekerja, punya tenaga, tangan dan kaki yang bisa kita pake untuk jadi buruh, dan itu yang aku lakukan, aku dibutuhkan untuk mengerjakan sesuatu yang lain”

“Seperti Lintang di laskar pelangi?” tanyaku

“Betul, nyatanya kita hidup bersama ratusan Lintang disini, kalau tidak dibilang semuanya. Hidup harus realistis. Menjalani apa yang kemudian harus dijalani, atau mengejar mimpi dan mengorbankan kewajiban kita kepada keluarga, mencari nafkah, membantu menafkahi keluarga, kita ada bersama ratusan Lintang, di desa kita ini juga”

“Iya thing, ada ratusan Lintang disini” sedikit bergumam aku menatapdia

“Dengar-dengar filmnya ditonton presiden dan menteri-mentrinya, juga menjadi perhatian banyak orang di kota-kota, semoga mereka semua tidak hanya mendapat mimpi dari laskar pelangi, tapi menjadi lebih realistis bahwa ada jutaan Lintang yang harus ditolong, mereka tidak hanya bisa bersimpati dan terinspirasi, tapi juga segera berbuat yang nyata, mereka tidak hanya bermimpi bahwa Lintang seharusnya tidak demikian, tapi mereka bisa berbuat untuk menolong Lintang-Lintang lainnya, tahun depan anakku masuk sekolah, tentunya aku berharap dia bisa lebih berpendidikan dari bapaknya, itu hanya bisa terjadi kalau ada kebijakan yang nyata, bukan mimpi.. Aku berharap mereka yang mengagumi tidak hanya berhenti mengagumi, tapi berbuat nyata.”

Aku terhanyak, “kamu punya mimpi juga kan Thing?” batinku. Hidup ini relaistis, kamu benar Thing, pesimis dan optimis hanyalah bunga-bunga perasaan, bukan sesuatu yang nyata, yang senyatanya adalah hidup itu relaistis.

“Kamu sendiri selama ini ngapain, Wid? Teman SD kita sudah punya anak, kamu cari istri saja gak bisa, inget umur, gak usah banyak bermimpi” Tanya Kunthing sambil tertawa

Kopi terakhir yang aku sruput terasa makin pahit, jangan-jangan aku belum sadar juga, masih tertidur dan banyak bermimpi. Obrolan sore itu aku belajar banyak tentang realistis terhadap mimpi-mimpi kita.. Didepan teman SDku, seorang buruh tani, aku merasa pemimpi kelas kakap.

Rabu, 19 November 2008

Sedia Payung Sebelum Hujan



Sedia payung sebelum hujan. Peribahasa ini keramat bagiku sewaktu aku SD. Karena inilah peribahasa yang sangat aku hapal, dan menjadi andalan senadainya diminta guru menybutkan salah satu contoh peribahasa. Payung dan hujan memang merupakan bahasa yang mudah dibanding kata-kata lain dalam peribahasa kita yang kadang sulit membayangkan, karena payung gampang ditemukan dan biasa juga mengalami hujan. Jadi dengan pikiran polos nan culun anak SD di pelosok dulu, aku dengan mudah dapat memahami maknanya. Membuat persiapan sebelum terjadi, antisipasi terhadap hal yang mungkin terjadi.

Kali ini aku hendak membicarakan kembali sedia payung sebelum hujan. Bukan sebagai peribahasa, tetapi dalam makna sebenarnya, ada payung dan ada hujan. Memahami payung dan hujan yang bukan sebagai makna kiasan.

Bermula dari perjalanan pulang dari Salatiga ke Jogja, yang harus aku tempuh dengan hujan deras. Karena terserang dingin luar biasa, serta capek dan lapar yang aku rasa, aku menghentikan motorku di sebuah warung makan sederhana. Bukan warung makan bernama sederhana, tapi memang dibangun dengan sederhana. Lumayanlah untuk tempat mampir, sambil menghangatkan badan. Segelas susu jahe, dan ada beberapa jenis gorengan yang masih hangat. Juga obrolan dari dua orang pengunjung warung yang lain. sepertinya bapak-bapak pegawai kalau dlilihat dari seragamnya.

“Sialan hujan gak pernah tahu diri” kata seorang bapak yang ada di bangku pojok. “Tiap hari kehujanan, kalau begini terus, kacau dah kerjaan”

“Bener, tiap hari aku terlambat pulang, gara-gara nunggu hujan reda” sambung temannya yang ada bangku agak tengah

“Nasib, banyak kerjaan yang sudah aku ketik harus diulang, karena kertasnya basah kena hujan”

“Aku juga, sudah brkali-kali aku kena tegur pimpinan, gara-gara di kantor gak pake seragam dan gak pake sepatu.”

“Sama, habisnya seragam dan sepatuku basah sewaktu perjalanan ke kantor, kena hujan, pimpinan mah enak, mondar-mandir pake mobil.”

“Mungkn doa kita kurang kusyuk”

“Maksudnya?”

“Kita kalah sama mbah Wiryo, mbah Wiryo yang lebih tua dari kita, pasti doanya lebih khimad, sehingga dikabulkan”

“Mbah Wiryo berdoa minta hujan?”

“Iyalah, kalau hujan kan banyak yang mampir warungnya, laris tentunya”

“Owh gitu ya, bisa jadi.. gitu ya Mbah?”

Pemilik warung itu senyum-senyum (akhirnya aku tahu kalau mbah wiryo itu pemilik warung ini). “Aku tidak berdoa untuk hujan atau tidak hujan, tapi aku yakin kalau warungku bakal laris kalau masih ada orang sebodoh kalian.” Ucapannya mengejutkan

Kedua orang tamunya tampak terbengong, mbah Wiryo kemudian melanjutkan petuahnya “Hujan itu kodrat alam. Kita tidak bisa melawannya. Menolak atau menghendaki hujan kita tidak bisa. Jika musim hujan seperti sekrang ini maka hujan aalah hal yang lumrah”

Kedua orang itu masih terbengong, mbah Wiryo menghisap rokoknya dalam2, dengan senyum sedikit dia melanjutkan lagi “Sesuatu yang di luar tidak bisa kita ubah, tapi kita bisa mengubah cara kita bertindak untuk menyikapi kondisi di luar kita. Kalu hujan ya bawa jas hujan, kan beres, ngapain ribut?” bergumam sepentar sambil sedikit mendseis, kemudian orang tua itu melanjutkan lagi “Kertas ya simpan pake plastik atau apa yang tidak tembus air, berangkat pake sandal dan kaos, seragam kantor dan sepatu dipake di kantor, bisa kan?”

Dua orang itu nampak terdiam dan mcoba mmberi argument terkahir “Tapi mbah, kan ribet?”

“Ya kalau gak mau ribet terima saja resikonya, gak usah nggerundel!” Mbah wiryo dengan kata-kata kemenangan.

Sambil nyruput susu jaheku, kata-kata mbak Wiryo tadi menggerakkan akal sehatku untuk menyimpan dalam memori otakku. Bagus banget, kita sering sekali marah, jengkel, pada sesuatu yang terjadi di luar diri kita, sehingga lupa bahwa kita punya pilihan tindakan, pilihan jalan untuk menghadapinya. Kita terbisa melihat keluar, dan lupa menata diri kita.

Selasa, 07 Oktober 2008

Kelak Tidak Ada Lagi Maaf yang Terucap



Setiap lebaran kita dihadapkan pada rangkaian kata maaf yang terucap dari siapapun kepada siapapun. Sudah tentu ini adalah hal yang positif, yang sangat menyentuh. Betapa tidak. Jika masyarakat dengan kesadaran penuh saling meminta maaf, artinya kita sedang melangkah menuju ke arah yang lebih baik.

Maaf, adalah serangkaian kata, yang terucapkan dengan kesadaran penuh. Rangkaian kata yang terucap dengan kesadaran penuh untuk mengakui bahwa ada yang kurang, ada yang tidak pas, tidak benar, dari apa yang kita lakukan. Dengan pengakuan itu, kata maaf terucap tentu juga diiringi dengan semangat baru, untuk memperbaiki dan tidak mengulangi lagi segala tindakan yang kurang baik itu. Mengakui dan memperbaiki. Itulah esensi dari maaf.

Maka dari itu, kita akan menemukan dikemudian hari pemerintahan yang lebih baik, yang lebih melayani, aspiratif dan bebas dari keserakahan kekuasaan, karena jajaran pemerintah dari pusat hingga RT, dari berbagai instansi, sudah menyampaikan ucapan maaf.

Di kemudian hari kita akan menemukan, BUMN-BUMN akan menjaga aset bangsa dengan baik dan kemudian mengunakan untuk kemamuran masyarakat, dan itu sudah dimulai dengan kata maaf yang disampaikan lewat media dan berbagai kesempatan.

Kelak akan didapatkan Partai2 Politik dan Caleg2 yang amanah, karena mereka sudah menyadari kekeliruannya dan bertekad berbuat lebih baik, dengan mengucapkan maaf melalui spanduk2, koran dan televisi.

Akan lebih banyak anak2 yang menghormati orang tua, akan lebih banyak orang tua yang menhragai anaknya. Ak ada lagi kluaraga yang tercerai berai. Akan lebih rukun dalam lingkungan masyarakat. Akan ada banyak teman yang saling menghargai. Semua akan menjadi lebih baik, karena kita semua saling mengoreksi diri menyadari kekeliruan dan bertekad menjadi lebih baik. Apalagi, kata maaf itu diucapkan dengan suka cita, berhiaskan pesta makanan dan baju2 yang pantas, sungguh luar biasa.

Kata maaf yang terucap dengan kesunguhan hati, dan kerelaan memaafkan dengan penuh keiklasan akan menjadikan kita semua menjadi lebih baik. Apalagi jika maaf yang terucap itu muncul dari kedalaman spiritual, bukan sekedar ritual meramaikan lebaran semata, atau sekedar numpang iklan, numpang keren, atau sebatas kepantasan semata. Bukan tidak mungkin kelak tidak ada lagi kata maaf yang terucap, karena kita akan selalu menjadi lebih baik setelah berkata maaf dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu.

Jumat, 26 September 2008

Kita Butuh Pemalu dan Penakut



Berani. Itulah kata-kata yang sering digunakan untuk memotivasi seseorang. Kata berani ini dicitrakan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, mencitrakan kebaikan atau bermakna positif. Ketika kita kecil, orang tua kita mendorong kita dengan kata “jadilah pemberani, jangan cengeng.” Juga ketika kita di sekolah, guru-guru kita akan selalu berkata “ayo anak-anak, jadilah pemberani, jangan malu-malu, silakan yang mau jawab angkat tangan, yang bisa mengerjakan silakan maju.”

Juga tentang mitos tentang kepahlawanan yang selalu kita baca. Dari epos Bharatayuda tentang keberanian para satria Pandawa melawan ketidakadilan. Buku-buku sejarah juga akan mnggambarkan betapa gagah beraninya Pangeran Diponegoro atau Cut Nyak Dien dalan berperang melawan pendudukan Belanda. Atau heros abad 21 seperti Superman, Spiderman atau Rambo, mereka menjadi idola karena merupakan orang-orang pemberani.

Jika kita berkesempatan utnuk mengikuti pelatiahn-pelatihan yang berisi motivasi, maka motivator-motivator dengan gaya yang meledak-meledak akan selalu menekankan kata ini “Berani.. jangan ragu.. jangan takut.. orang akan berhasl jika dia berani membuat perubahan, berani mengambil keputusan, berani untuk memulai.. berani.. berani... berani..!!!”

Begitu kuatnya penanaman ide positif tentang Berani ini, maka masyarakat akan menganggap buruk buat mereka yang pemalu dan penakut. orang tua tentu akan lebih bangga jika anaknya disebut dengan pemberani, daripada pemalu apalagi penakut.

Namun jika kita mau melihat dunia menjadi tempat yang nyaman bagi semua penghuninya, sesungguhnya perlu ada kendali terhadap sifat berani tersebut. Tidak selamanya yang berupa berani itu adalah sebuah kebaikan. Terlalu menonjolkan kata berani, mengangungkan kata berani, maka secara tidak sadar kita menjadi pemberani terhadap tatanan juga.

Mungkin, karena begitu kuat penjiwaan terhadap berani tersebut, serta begitu jeleknya citra malu dan takut, maka sekarang kita melihat ada anggota dewan yang berani menerima suap untuk sebuah undang-undang, ada jaksa yang tidak malu ketika tertangkap basah menerima suap, di berbagai penjuru dunia selalu ada orang yang berani mencuri dan merampok. Ada juga orang yang berani menganiaya orang lain karena sejumlah perbedaan, tanpa rasa malu dan takut lagi. Banyak orang yang merasa tidak malu lagi untuk dikatakan miskin meskipun sudah bermobil mewah, sehingga selalu meminta proyek dan setoran dalam bekerja, Ada lagi pegawai pemerintah begitu berani dan tidak malu lagi menerima sogokan sana-sini, lupa bahwa melayani masyarakat adalah tugasnya. Banyak juga orang yang tidak lagi malu dicatat sebagai warga miskin asal dapat BLT dari pemerintah, peduli amat sama yang semetinya lebih berhak. Banyak remaja justru bangga ketika berani mempertontonkan adegan mesra dengan pasangannya di depan umum tanpa rasa malu dan takut.

Begitulah, Dunia menjadi penuh dengan warna-warni keberanian. Mungkin kita semua begitu mengahayati keberanian para pahlawan, menghayati nasehat orang tua kita untuk menjadi pemberani, terinspirasi oleh para motivator kita untuk selalu berani mengambil resiko. Akibatnya kita menjadi orang-orang yang berani berbuat tidak pantas.

Sudah saatnya kita membuat gerkan baru. gerakan untuk malu dan takut. Kita buat kata malu dan takut tidaklah selalu buruk dibandingkan dengan kata berani. semua pelajaran yang mengajarkan tentang berani harus diimbangi dengan pelajaran untuk menjadi malu dan takut.

Mengembangkan rasa malu, artinya kita menjadi orang yang tahu diri, tau pantas atau tidak tindakan itu dilakukan sebelum kita melakukan tindakan. Rasa malu akan menjadikan kita berhenti mengumbar keberanian kita dalam bertindak dan berbuat, jka tindakan dan perbuatan kita itu tidak baik, tidak pantas, merugikan orang lain. Mengembangkan rasa takut, artinya kita selalu diingatkan bahwa tindakan dan perbuatan kita itu selalu berakibat. berakibat baik jika tindakan kita adalah kebaikan, berakibat tidak baik jika tindakan kita adalah keburukan. Sebelum bertindak dengan berani, kita selalu diingatkan bahwa kita akan mendapat kebaikan atau keburukan dari perbuatan kita.

Demi kebaikan, menjaga dunia penuh damai dan cinta sesama, kita butuh menjadi malu dan takut. Malu untuk berbuat kejahatan dan berbagai tindakan yang tidak pantas, serta takut akan akibat dari perbuatan jahat yang kita lakukan.

Jumat, 12 September 2008

Kembang kirimanmu

kembang kirimanmu
wis dak tampa tanpa layu
katon seger ngganda arum
wis rinonce sajroning tamanku

mung welingku cah manis
kembang sing dakkirim
enggal dironce kanthi asri
dadio endahing tamaning ati

enggal dironce kanthi endah
tinandur kuat ing jeron manah
aja nganti ono selah
mung kembangku sing tumata kebak

mung welingku cah ayu
isinen taman atimu
mung kanthi asmaku
dadiyo endah lakumu lakuku



Kamis, 11 September 2008

Menjadi Realistis

Obrolan chating malam ini dengan seorang teman menyinggung masalah dia yang selalu merasa pesimis terhadap banyak hal yang dihadapi. Obrolan ini mengingatkan aku tentang cerita botol minyak. Mungkin beberapa dari anda sudah membacanya.

Seorang anak diminta tolong sama ibunya untuk membelikan minyak. Maka pergilah anak itu dengan membawa sebuah botol. Dengan botol itulah si anak membawa minyaknya. Dalam perjalanan pulang, anak tersebut terjatuh, dan tumpahlah sebagian minyaknya. Sekitar setengah dari minyak yang dia beli tumpah...

Ada tiga kemungkinan yang terjadi sebagai kelanjutan cerita diatas. kemungkinan pertama, si anak akan pulang sambil terus menyesali, bahkan menangisi minyaknya yang hilang. Dia mengadu kepada Ibunya bahwa Dia sudah kehilngan setengah minyak yang dia beli, dengan penuh penyesalan. Pada kasus ini anak tersebut adalah anak yang Pesimis.

Kasus yang kedua, si anak akan pulang tetap dengan tenang dan tegap. tak ada wajah menyesal. Segalanya seperti beres, dan dengan tegas dia akan melaporkan : "Ibu, tadi di jalan Aku jatuh, tapi Aku tetap mampu menyelamatkan setengah minyak yang aku beli!!" Pada kasus ini, kita bertemu dengan anak yang Optimis.

Kasus yang ketiga, si anak tetap tenang dan pulang. wajahnya juga seimbang, tidak senang, sedih juga tidak. ketika bertemu dengen ibunya, dia akan melapor : "Ibu, tapi aku jatuh, harus Aku akui Aku kehilangan setengah minyak yang Aku beli, tapi masih juga ada setengah yang dapat dimanfaatkan." Pada kasus ini, kita bertemu dengan anak yang Realistis

Dalam banyak kasus, kadang kita menjadi orang yang pesimis dengan terus2 menerus menyesali yang hilang, dan lupa dengan peluang2 yang ada. Kadang kita juga menjadi orang yang Optimis, dengan terus menerus berbicara peluang-peluang, sehingga jika kadang menjadi lupa terhadap kemungkinan buruk yang ada. tetapi ada yang lebih bagus dalam kita bersikap terhadap apapun yang terjadi, yaitu kita menjadi realistis, tidak lupa dengan kendala2nya, tidak lupa juga dengan peluang2nya. Tidak lupa dengan keburukannya, namun tetap bersikap maju untuk melakukan hal-hal yang baik.

Kira-kira Realistis nggak ya postingan ini?

Sabtu, 06 September 2008

Menjadi Tidak Wajar

Apakah yang kamu pikirkan tentang kucing? jika pertanyaan ini disampaikan ke banyak orang mungkin akan di dapat jawaban :

"Binatang yang lucu, yang menggemaskan"

Ada juga yang menjawab "Duh, imut banget...pengin deh peluk kucing kalau tidur"

Ada juga yang akan bilang "Binatang yang sangat manja"

Pernah juga ada yang bilang "Bikin jengkel tapi juga kangen"

Terus ada yang bilang "Menjengkelkan, suka mencuri"

Ada juga yang bilang "Menjijikkan!!"

Mungkin masih banyak jawaban lagi seputar pendapat tentang kucing. Tentu saja hal ini tidak akan didapatkan jawaban yang sama satu dengan yang lainnya. Pendapat setiap orang tentang kucing, akan sangat tergantung kesan, pengalaman, apa yang dia liat, apa yang dia tahu tentang kucing. Dengan demikian adalah sulit menyamakan pendapat tentang kucing. Sementara, kucing tetaplah kucing. Oranglah yang akan menilainya tergantung dari apa yang dia pikirkan tentang kucing berdasarkan kesan, pengalaman, penglihatan dan pengetahuan tentang kucing.

Begitulah, di tengah masyarakat kita ada banyak sekali selain "kucing", hampir semua benda dan fenomena memiliki arti dan nilai yang berbeda pada setiap orang. Hal ini wajar, tergantung kesan, pengalaman, penglihatan dan pengetahuan tentang benda dan fenomena tersebut. Dengan demikian, adalah wajar jika terjadi perbedaan cara pandang, atau nilai setiap orang terhadap benda atau fenomena-fenomena itu.

Menjadi tidak wajar justru apabila kita, memaksakan cara pandang kita terhadap sesuatu itu kepada orang lain, memandang aneh orang yang berbeda pandangan dengan kita, padahal jelas kondisinya berbeda. Jelas bahwa kesan, pengalaman, penglihatan dan pengetahuannya berbeda. Semakin tidak wajar kalau kita kemudian membenci mereka yang berbeda cara memandang terhadap sesuatu itu.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Si Kidang Talun

Di sebuah Forum diskusi internet, saya menemukan postingan tentang lagu masa anak-anak. Kalau Anda yang tinggal di Jawa, barangkali ingat lagu masa kecil ini :

Kidang talun

mangan Kacang talun

Mil kethemil mil kethemil

si Kidang mangan Lembayung

Membaca postingan tersebut, tentu saja yang terlintas di benak Saya adalah memori masa kecil, ketika Ibu Saya menyanyikan lagu itu untuk Saya, dengan memainkan tangan seolah2 tanduk Kijang yang terangguk2 mengikuti gerakan kepalanya. Setelah itu Ibu akan bilang, “ayo kidangnya makan lembayung dulu..” , dan dengan senyum lebar Saya tidak lagi ngeyel dan menolak makan, dengan senang hati akhirnya makan nasi beserta sayurnya dengan lahap..

Beberapa hari kemudian ketika melihat tulisan tentang lagu itu, Saya kembali berpikir tentang hal lain, berikut ini :

Pertama, Saya khawatir bahwa lagu itu masuk dalam zona lagu masa lalu, yang akan tenggelam seiring dengan waktu. Betapa tidak, anak-anak sekarang Saya yakin gak akan populer dengan lagu itu, kalaupun masih menyanyikan lagu anak2 tentunya bukan lagu itu, dan kalupun masih ada yang menyanyikan lagu itu, tentu jumlahnya makin sedikit. Beberapa hari yang lalu ketika Saya berkunjung ke rumah salah satu teman, gak jauh dari rumahnya serombongan anak2 malah sedang asyik bergoyang mengikuti irama lagu dangdut dewasa, oooo ooooo kamu ketahuannnnn” (kata teman tuh VCD pementasan dangdut, berarti goyang hot ala penyanyi dangdut tuh yang anak2 tonton.. oooo oooo kamu ketahuannnnn). Juga dalam kontes penyanyi cilik di salah satu stasiun televisi swasta, lagu-lagu yang dibawakan sebagian besar termasuk kategori dewasa…

Kedua, dulu Saya bingung banget membedakan antara Kidang dan Menjangan. Tapi toh setidaknya mengenal Kidang, mengenal Menjangan, dan melihatnya. Saya khawatir, anak-anak besuk hanya akan dapat membayangkan atau berimajinasi untuk melihat Kidang. Mereka hanya bisa melihat melalui gambar, buku2, atau animasi Komputer. Barangkali berlebihan, tetapi di jaman sekarang saja, salah seorang teman bercerita kepada saya tentang keponakannya yang tidak bisa membedakan Kerbau dan Sapi. Meski awalnya menertawakan cerita itu, toh akhirnya saya berjumpa juga dengan orang (bukan anak2 lagi, dah kuliah tahun pertama) yang tidak bisa membedakan Kerbau dan Sapi, ditambah juga Dia tidak bisa membedakan Bebek (itik) dengan Menthok. Itu Terjadi di jaman sekarang, bagaimana dengan beberapa puluh tahun kedepan? Juga kondisi belum adanya kesadaran bersama dari bangsa manusia untuk berbagi tempat di bumi dan ikut melindungi bangsa Kidang dari pembunuhan masal dan perburuan.

Ketiga, Saya khawatir juga bahwa jangan-jangan yang tidak tahu lagu itu, atau bahkan tidak tahu Kidang, adalah anak Saya juga (besuk, kalau sudah beristri dan sudah punya anak). Bisa jadi, anak Saya ngeyel dengan mengatakan bahwa nama hewan itu adalah Pooh ketika melihat beruang, atau Bona untuk menamakan Gajah, juga karakter2 yang lain untuk mengganti nama hewan yang ada. Bisa juga, anak Saya besuk lebih suka mengoleksi gambar dan boneka Anime, daripada mengenal hewan-hewan dan tanaman disekitar kita. Putus sudah generasi Agraris di keluarga Saya kalau itu terjadi..

Begitulah, Saya berharap, kita semua dapat melanjutkan balada si Kidang Talun ini, jangan sampai berlalu begitu saja, karena Kidang Talun, tidak hanya bercerita tentang si Kidang, tapi juga bagaimana kita menjadi bagian dari harmoni semesta alam

Ops, Anda tahu tanaman Lembayung kan?

Jumat, 29 Agustus 2008

Nimas Ayu


Sliramu Nimas Ayu

Sumusup jeroning kalbu

Sumurat ing saben pandulu

Ngegodha ing saben pangrasa

Kintir bareng ludira

Kumanthil sajroning ati

Kudu kumucap ing pucuking lathi

Tan pisah seko obahing pikir

Njalari suka, njalari kuatir


Sliramu wis manjing Nimas Ayu

Ing Raga lan sajroning Batinku….

Kamis, 28 Agustus 2008

Reuni Dadakan

Reuni Dadakan. Itulah yang terjadi dalam sebuah kesempatan pulang ke desaku. Sore itu aku mengantar seorang tetangga untuk kondangan ke dusun yang masih satu desa dengan desaku. Hanya Lokasinya sekitar 1 KM ke utara, ke arah hutan. Niat awal sih, sekalian jalan2 liat suasana dusun, sudah bertahun2 gak lewat dusun2 itu. kalaupun pulang desa, hanya sempat main ke teman2 yang satu dusun saja.

Karena nganter Kondangan, tentu saja aku tidak ikut masuk, malu.. maka aku memilih markir motor agak jauh dari lokasi, sambil liat2 keadaan dusun. Ketika asyik melihat banyak perubahan di dusun itu, nampak di sebuah rumah, seorang ibu menggendong anaknya, nampak senyum2 melihatku. Tadinya sih aku cuek, tapi tuh orang kok nggak pergi juga. Dengan penasaran aku memandang dia lebih jelas, sampai akhirnya, astaga.. dia temanku waktu SD.

Akhirnya aku hampirin dia, dan dengan senyum lebih lebar dia menyambutku, bukan hanya dia, Laki2 muda, (dugaanku suaminya dan ternyata benar) juga ikut menyambutnya.

"Piye Ning? apa kabar" sapaku duluan

"Apik, Piye Mas Wiwid?" sing Ning menjawab, namanya Ning

" ini anakmu? udah gede ya? ini pasti Bapaknya si Anak.." kataku menyalami mereka

Setelah duduk di teras, tanya kabar dan kegiatan, aku menanyakan teman-teman SD yang tinggal di dusun itu

"Eh Ning, gimana kabar Miswanti, Sriyati, Wali, Muti? tinggal dimana sekarang?"

"Sudah pada punya anak semua, tinggal di dusun ini juga.. "

"bentar aku panggilkan mereka, dekat kok mas rumahnya" kata si Suami

"Iya, bagus deh, kataku, wuah, nih sudah pada pindah rumah, meski satu dusun"

Bener juga, gak sampai sepuluh menit, mereka sudah ngumpul, wajah mereka nampak ceria, tentu saja obrolan makin ramai.

"Mas wiwid, kapan mantenan?" pertanyaan yang paling bikin ribet

"ha? kapan2 deh.."

"pasti ceweknya orang kota" ledek mereka

"kulitnya putih"

"nggak bisa bahasa Jawa"

"Nggak bisa jalan di pematang Sawah"

"dan nggak tahu bedanya sapi sama kebo"

"halagk.. yang bener aku belum laku" sanggahku

"masak sih, Mas?"

"Ops bentar, kenapa kalian manggil aku Mas, bukankah aku yang paling muda?"

"karena Mas sekarang sudah jadi Piyayi"

"satu-asatunya diantara kita, se-SD, se-angkatan, yang kuliah"

"makanya, kalau belum laku tuh bohong, paling belum mau.."

"sebagai satu-satunya yang kuliah, selama ini sudah menjadi kebanggan bagi kami"

"iya meski kemudian kami malu untuk menyapa duluan, ketemu piyayi"

"iya, setidaknya kami bangga, bisa pamer kalau mas wiwid yang pyayi tu teman kita satu kelas waktu SD"


kata-kata itu itu membuatku terpana, hanya bisa senyum-senyum saja, mereka memborbadir tentang Piyayi, Mas, kebanggaan dll, sampai kemudian HPku berdering, tetanggaku sudah selesai kondangannya. Aku pun berpamitan

"Senang ketemu lagi dengan kaliyan setelah bertahun-tahun tidak ketemu, kalau mo perlu biar tidak putus pertemanan kita, atau kalau lagi ke Jogja, hubungi aku, nih nomernya "kataku sambil memberikan kartu nama

Aku pun berlalu.. " eh mas, ada tulisan email maksudnya apa?" teriak salah satu

sambil menoleh, aku berhenti sejenak, "wuah.. panjang ceritanya, yang penting alamat rumah dan nomor theleponya saja"

seminggu setelah pertemuan itu, Aku termenung sendiri, sambil melihat foto2 pertemuan itu, yang sudah Aku cetak. Kata-kata tentang sebutan "mas", piyayi, kuliah, kebanggaan yang mereka sematkan ke Aku, membuat aku tidak nyaman. Juga tentang email, yang pasti mereka tidak tahu itu apa. Ingatanku juga kembali ke masa kecil, ketika kami berseragam lusuh merah putih, tanpa sepatu (hanya bersepatu kalau hari Senin), berebut buku karena keterbatasan jumlah buku, halaman sekolah yang kalu nggak berdebu di musim kemarau, ya becek di musim hujan, hingga kelas digabung dengan kelas diatasnya atau dibawahnya kalau hujan, karena genting beberapa ruang kelas bocor.

Besuk pagi, Adikku akan mampir ke tempatku sebentar dalam perjalanan pulang dari Malang ke desaku. Kebetulan, aku tulis surat untuk teman2ku saja, yang aku titipkan lewat Adikku besuk.

Buat Ning Dkk

Semoga kebaikan selalu ada pada kalian, suami/istri dan anak kalian semua..

ini foto2 sewaktu kita berkumpul, semoga bisa menjadi kenangan tersendiri.
O,iya, harap kalian mengerti, kalau aku menyesal lanjut sekolah dan kuliah, jika itu membuat Aku menjadi lebih bagi kalian, menjadi Piyayi bagi kalian, menjadi "mas" bagi kalian, aku tetap Wiwid, teman SD. Bagaimanapun juga, dimana saja, adalah nyata, kaliyan teman SDku, gak ada yang berubah. Aku tetap bangga berteman dengan kalian, dengan kondisi apapun.

wiwid











Senin, 25 Agustus 2008

Seperti Lilin


Tak biasanya listrik di tempatku mati. Biasanya dengan sombongnya aku akan bercerita ke banyak teman tentang daerahku, terutama rumahku yang nggak kena giliran pemadaman listrik dari PLN. Namun malam ini beda, Listrik di rumahku padam juga. Yuuhhh

Untunglah aku mempunyai banyak Lilin, memang kepikiran untuk menyimpan, siapa tahu suatu saat butuh. Ternyata malam itu butuh bneran. Lilin segera dinyalakan, ruang pun terang kembali, remang-remang tepatnya. Menikmati suasana remang itu, aku pun manyun, duduk sambil minum teh kotak dan medengarkan radio dari HP.

Secara tidak sengaja pandanganku jatuh ke lilin. Cahaya lilin yang bergoyang-goyang diterpa angin, begitu menarik perhatian, sampai akhirnya Aku memikirkan begitu banyak hal tentang lilin, dan salah satunya adalah teringat tentang bagaimana menyalakan lilin. Jika kita hendak menyalakan banyak lilin, kita tidak perlu menyalakan menggunakan korek api satu persatu. Cukup satu lilin dinyalakan kemudian lilin yang lain mengambil api dari lilin yang telah dinyalakan. Demikianlah lilin bisa berbagai api, tanpa kehilangan api yang telah dimilikinya. Meski banyak lilin dinyalakan dari satu lilin, tapi lilin yang menjadi sumber api itu tak akan pernah kehilangan apinya.

Lilin, api, dan berbagi. Api adalah nilai lebih dari lilin. Bagi lilin, api adalah sesuatu yang menjadikan dirinya berarti. Bagi lilin, api adalah kebaikan, kebajikan yang dimilikinya yang menjadikan si lilin bermanfaat bagi lingkungannya. Meski demikian, banyak lilin yang dinyalakan dari api yang dimiliki lilin lain, tanpa membuat lilin yang dijadikan sumber api kehilangan api. Ketika lilin berbagi nilai lebihnya, yaitu api, ke lilin lain, maka lilin tersebut tidak akan kehilangan nilai lebihnya. Ketika lilin berbagai kebaikan, maka lilin itu tidak akan kehilangan kebaikannya itu.

Seperti kita juga, bangsa manusia. Setiap dari kita, setiap orang, pasti memiliki nilai lebih dan kebaikan yang bermanfaat buat diri dan orang lain, buat lingkungan juga. Kadang, ada orang yang menggunakan nilai lebih dan kebaikannya itu sebagai bagian dari kampanye keakuan, kampanye ego. Kampanye untuk mengesankan bahwa dirinya lebih baik dari orang lain.

Hal tersebut sah-sah saja, pilihan hidup orang, karena dia yang akan menanggung dari pilihannya itu. Namun jika mau belajar dari Lilin, ada baiknya kalau kebaikan, nilai lebih yang kita punya itu kita tularkan ke orang lain. Dengan demikian makin banyak orang yang memiliki nilai lebih, serta makin banyak yang berbuat baik. Toh, dengan mengajak, mengkondisikan, menginspirasi orang lain untuk berbuat sesuatu yang baik, tidak akan mengurangi kebaikan yang kita perbuat.

Seperti lilin..

Minggu, 24 Agustus 2008

Kucing Meang-Meong…!!!!


Sebuah obrolan terjadi suatu pagi, di warung burjo (bubur Kacang ijo) dekat dengan rumah. Sambil makan Burjo, seorang bapak mengomel terus.

“Benar-benar hari ini kerasa ngantuk, kurang tidur?” kata si Bapak

“Kenapa pak? Lembur?” Pemilik Warung menanyakan ke Bapak itu

“Bukan.. semua gara2 kucng sialan”

“Lha kenapa? Emang kucingnya nyuri makanan Bapak?”

“Bukan.. semalaman kucing peliaranku berisik banget, meang meonggg melulu, lagi musim kawin, wuah dasar kucing sialan!”

“Lhaa terus?”

“Iya, meang mong kejar2an kesana kemari di semua plafon, Hasilnya hari ini ngantuk banget.”

Begitulah selama aku makn isitu, gak ada cerita lain sedikitpun, pokoknya di dominasi oleh kejengkelan terhadap kucing meang meong

Tiba-tiba aku ingat terhadap kepolosan anak tetangga yang masih TK, ketika latihan untuk pementasan drama anak2 beberapa waktu lalu di Balai Desa. Latihan untuk pementasan agustusan. Dia yang harusnya meragakan anjing malah bersuara meong dengan kerasnya, kontan saja semua yang nonton latihan itu menjadi tertawa.

Benar, semua orang tahu, kucing adalah satu-satunya binatang yang bersuara meong. Gak ada binatang lain yang bersuara meong. Kalau demikian, ketika kita mendengar dan melihat ada kucing bersuara meong kenapa kita mesthi marah? Tentunya kita heran dan marah kalau kucing kita bersauara guk guk atau mbekkkk.. Bukankah dari dulu kucing memang sudah bersuara meong?

Terus, kalau kita sudah tahu kucing bersuara meong dan kalau musim kawin, mengapa juga pelihara kucing?

Tidak sadar kita kadang menjadi makhluk egois. Kadang kita menjadi sewot, jengkel dengan menyalahkan sesuatu yang luar diri kita sebagai sebabnya. Padahal kita marah, kalau diteliti lagi bukan karena meongnya si kucing, bukan karena si kucing kawin, tapi karena ego kita, yang kenyamanan kita terganggu. Sumber marah itu, lebih tepat ada di dalam diri kita. Suara kucing dan apapun yang diluar hanya kondisi yang mendorong saja.

Jumat, 22 Agustus 2008

Seperti Karangan Bunga



Seperti juga sebuah karangan bunga Karangan bunga indah jika dilihat secara utuh. Secara utuh sebagai satu kesatuan karangan bunga.

Kita bisa saja melihat satu-persatu, ditelaah satu-satu, maka akan ditemukan bunga yang tangkainya bengkong, berduri, agak layu, bahkan bunga yang tak bagus kalau dilihat sendirian. Tetapi sebagai karangan bunga, sebagai satu kesatuan, tetap saja adalah sebuah keindahan.

Demikian juga dalam menyikapi setiap berakhirnya sebuah kegiatan bersama Atau juga dalam kegiatan bermasyarakat. Bisa juga kita melihat kesalahan satu-satu dari yang kecil dan besar. Kesalahan setiap invidu kita bahas. Tetapi, Bisa juga kita melihat bahwa perpaduan karya bersama, dengan keunikan masing dan tugas masing-masing adalah keindahan.

Cuma Seribu Rupiah

Setiap Jumat, aku menempuh perjalanan ke Salatiga melawati lereng gunung Merbabu yang indah. Berkelok-kelok, naik turun dan membuat capek, tapi terbalas dengan pemandangan yang indah. Itulah sebabnya aku menikmati perjalanan itu.

Rutinitas itu, diikuti dengan rutinitas yang lain, sarapan di warung langganan, di tengah perjalanan. Demikian juga pagi itu. Makan di warung langganan. Begitu selesai, bergegas aku ke Kasir, penginnya duduk lama-lama, tapi perjalanan masih jauh.

“Kembaliannya kurang seribu, Mas, tinggal disini ya? Kan sudah langganan.” Kata Ibu Kasir dan pemilik Warung

“Ha? Kurang?” jawabku

“Iya, gak papa kan Mas, Cuma seribu kok, gak akan jadi miskin dan susah Mas”

“Wooo”

“Gitu yo, Mas, ntar kalu kesini lagi Ibu balikin, kalau gak lupa, kalau lupa ya gak akan jadi miskin buat Mas, gak akan nambah kaya buat Ibu, wong Cuma seribu”

“Iya deh.. makasih Bu” aku berlalu sambil tersenyum

“Sama, hati-hati, Mas”

Segera aku melanjutkan perjalanan. Uang seribu itu tidaklah membebani, toh Cuma seribu, pikirku. Hingga di tengah jalan, Aku melihat anak sekolah berseragam SD lusuh, tanpa alas kaki sedang menangis di tegalan pinggir jalan, sementara seorang ibu nampak bingung dan cemas disampingnya

Iseng, beneran iseng aku hentikan motorku dan bertanya kepada mereka, “ada apa Dik, Bu?”

Keduanya masih bingung, hanya tangis si anak tidak lagi berteriak, tapi sesenggukkan…

Ada apa? Lagian nih jam sekolah kok gak sekolah?”

“Disuruh pulang dulu nyari Simbok, kata si anak dengan sesenggukan”

“Lho, kok disuruh pulang dulu?”

Si Ibu nampak berbisik2 pada si anak, aku malah penasaran. Aku mendekat ke mereka, dengan meloncat dari jalan ke tegalan mereka. Beberapa Ibu-Ibu yang lagi bekerja dilahan itu juga menghentikan pekerjaannya, mereka berdiri menatap kami meski dari jarak sedikit jauh, hanya ibu yang paling tua yang kelihatan mendekat.

“Gini lho, Mas, anak ini memang nakal, sampai nyari Simboknya ke tempat buruh, bikin Aku malu sama teman2 sesama buruh dan sama yang saya buruhi juga”. Kata Ibu itu

Si anak nampak menghentak tidak senang dikatakan nakal. Aku bertanya ke anak itu

“Disuruh pulang siapa tadi dari sekolah?”

“Bu guru..disuruh nyari Simbok”

“Lho, emang kamu nakal ya?”

“Ibu guru marah karena saya belum membayar”

Ibunya nampak menatap si anak sambil bergumam. Tidak senang rupanya

“SPP? Lha kan bisa di bayar bulan depan?”

“Bukan SPP, tapi uang keterampilan?”

“Uang keterampilan?”

“Di sekolah kami diajari membuat ketrampilan dari kertas2, untuk membeli kertasnya disuruh iuaran dua ribu lima ratus.”

“Terus?”

“Hari ini terakhir membayar, padahal Bapak baru pulang besuk dari kerja bangunan di Jogja. Jadi aku belum mbayar, Bu Guru marah, karena aku keseringan terlambat mbayar apapun jugadi sekolah”

“Oww emang belum mbayar sama sekali?”

“Simbok hanya ngasih seribu limaratus”

“Iya Mas, itu duit yang tersisa tadi pagi, sudah aku kasihkan ke dia, Aku pikir Bu Guru mau mengrti, seperti biasanya. Namun hari ini tidak, disuruh pulang, ambil duit dulu.. Lha aku lagi buruh, suami baru pulang besuk, aku yo bayaran ntar sore, setelah pekerjaan selesai, ini benar2 lagi gak bawa duit sepeserpun… teman2 buruh juga sama” akhirnya Ibunya mau terbuka juga

Segera aku raba saku jaketku, masih ada kembalin bensin tapi pagi, lima ribu rupiah, aku serahkan ke anak itu. Aku segera mohon diri ke mereka. Ibu dan anak berteriak terimakasih.

Kejadian itu selalu berdengung diingatan. Cuma seribu rupiah. Beberapa menit sebelumnya dengan tertawa pemilik warung makan mengatakan Cuma seribu rupiah, tidak akan menjadi miskin dan kaya hanya dengan seribu rupiah. Sekarang Anak kecil dengan baju seragam lusuh tanpa alas kaki harus dipulangakan dari sekolah oleh gurunya hanya karena belum mbayar seribu rupiah. Seorang ibu juga cemas karena tidak dapat memulusakn permintaan anaknya, uang seribu rupiah. Di sekolah sana seorang Guru tega memulangkan muridnya hanya karena seribu rupiah, itupun duit ketrampilan, bukan duit pembayaran utama sekolah.

Hanya seribu rupiah…

Saya Ngeblog Lagi



Ijinkanlah saya ngeblog (lagi). Sungguh beruntung sekali saya bertemu dengan teman2 yang memberikan saya banyak inspirasi. Termasuk kemudian saya menemukan semangat kembali untuk aktif menampilkan curhatan saya di dunia maya, pada lembaran yang bernama blog. Setidaknya, pertemanan itu telah sedikit menyembuhkan saya dari traumatic sekian bulan (tahun) yang lalu. Betapa kecewanya saya setelah membaca hasil curhatan saya melalaui cerpen dipermak sedemikian rupa dan muncul di sebuah harian dengan nama orang lain. Untuk itu kepada teman2 yang telah membantu menemukan saya untuk kembali percaya pada komunitas dunia maya, saya mengucapkan terimakasih.

Ijinkanlah saya negblog lagi, saya, hanya ingin belajar menjadi lebih baik dari Anda-Anda semua, guru –guru terbaik saya. di kehidupan ini.

Salam

Triwied.