Kamis, 27 November 2008

Balada Gorengan



Barangkali anda setuju dengan pendapatku, jika hujan gerimis,menikamati sore setalah seharian beraktifitas, salah satu pilihan kegiatan yang nikmat adalah minum teh atau kopi hangat, ditemani gorengan yang masih hangat juga. Sekali lagi gorengan, bukan penggorengan. Bisa saja tahu bacam goreng, tempe goreng, pisang goreng, ketela, sukun, bakwan atau jenis gorngan yang lain..

Makanan ini termasuk makan murah meriah, merakyat, disukai semua kalangan, lintas SARA, dan bagi aku, gampang didapat, soalnya disepanjang jalan dekat aku tinggal banyak yang jualan.

Maka jika pulang tak jarang aku sempatin mampir ke penjual gorengan, dan dengan semangat membuat teh atau kopi hangat, apalagi jika gerimis atau hujan, maka menikmati gorengan dan minuman itu serasa ada di dunia lain.

Pengalaman suatu sore, ketika lagi pada keadaan ingin sekali menikmati gorengan dan minuman hangatku. Maka dengan penuh semangat segera diadakan perburuan gorengan. Gerimis yang turun bukan halangan. Justru menambah rasa ingin menikmati gorengan.

Ditengah semangat dan rasa ingin yang luar biasa, kekecewaan pertama aku dapat.. Penjual langganan yang pertama ternyata sudah tidak ada lagi yang tersisa. Lanjut ke penjual berikutnya, dan jawabannya sama, sudah habis. Akhirnya sepanjang jalan, aku jelajahi, ada yang habis, ada yang nggak jualan.

Baru saat itu aku ngerasa luar biasa kecewanya, karena tidak dapat apa yang aku inginkan, gorengan. Betapa ketika rasa ingin sudah demikian memuncak, air liur yang menetes hanya sebatas membayangkan saja, dan apa yang kita idam-idamkan tidak dapat, ternyata kecewa besar.

Tentu saja segala sumpah serapah dan omelan aku layangkan. Kepada gorengan, kepada penjual gorengan, kepada gerimis, meski omelan itu hanya lewat mimic muka dan berdesis. Baru bisa keluar segala kekecewaan dan serapah itu ketika sudah sampai di rumah.

“Napain ngomel, Bung? sambut teman serumahku

“Gila, semua gorengan di jalan ini sudah nggak ada lagi,” sungutku

“Haha, gagal makan gorengan?”

“Iyah gorengan sialan, mana penjulanya juga gak nyisain sedikitpun buat aku”

“Ah kau bung, napa gorengan yang kau salahkan? Benda mati lagi.. apalagi penjual gorengan tuh, kasihan, mana mungkin bisa tahu jalan pikiranmu”

“Setidaknya kan aku sudah langganan, mesthinya dia tahu”

“Ah kamu, pernah berpikir seandainya kamu tidak ingin makan gorengan, apakah kamu merasa tersikasa, kecewa, menderita?”

Gerimis mulai membesar, teh yang aku seduh juga sudah terhidang di depanku. Mengamati bulir hujan dan merasakan kehangatan teh, pikiranku masih terbawa ke gorengan. Seandainya ada gorengan.. hhhhmmm., tapi tiba-tiba akal sehatku mencoba mencerna obrolan dengan temanku. Dia benar. Seandainya aku tidak punya keinginan yang sangat, aka aku tidak akan begitu kecewa. Keinginan itulah sumber kekecewaanku. Kalau gorengan yang bikin aku kecewa, napa orang lain tidak kecewa seperti aku? Karena mereka tidak meninginkannya. Benar kata temanku, keinginan itulah sumber kekecewaan.

Jumat, 21 November 2008

Kidung Wuyung


Kidung wuyung



wong manis
sinambi nyawang tetesing gerimis
binareng sore lembayung
dak kirim kidung wuyung

supaya wengi iki
ing telenging ati
kabeh suara sanubari
linambaran katresnan suci

enggal jawaben kabeh rasaku
kareben nyawiji karo nafasku
sajiwa manunggal bebarengan lumaku

Kamis, 20 November 2008

Kunthing dan Laskar pelangi



Buku fenomenal. Buku Laskar pelangi karya Andrea Hirata itu telah menuai banyak pujian. Ada banyak nilai yang bisa dipelajari disana. Tentang persahabatan, ironis kehidupan, cita-cita, dedikasi guru yang luar biasa, mimpi dan terutama adalah optimisme bagaimana mewujudkan mimpi. Atas dasar begitu banyak inspirasi yang aku dapatkan dari buku itu, maka aku pun berniat berbagi, terutama kepada teman-temanku yang ada di kampung. Salah satunya kepada Kunthing, teman SD. Nama asli sebenarnya Riyanto, bagus juga, tapi karena kurus dan kucel maka dipanggil kunthing, (sebutan orang Jawa untuk sesuatu yang tumbuhnya tidak maksimal). Sore ini aku datang ke rumahnya

“Gimana Thing, pendapatmu, bagus bukan?”

“O iya cukup bagus buat orang sepertimu, aku baca dua tiga kali masih bingung” jawabnya

“Setidaknya kau terinspirasi pastinya..”

Dia tertawa bentar, terus nyeruput kopi yang di buat istrinya. “Buku itu telah membuat kamu sombong, secara tdak langsung kamu mau bilang bahwa kamu sudah berkelas dengan membaca buku yang bahasanya bukan untuk orang seperti aku, hanya untuk orang-orang yang merasa dirinya hebat semata-mata kuliah” lanjutnya

“Ah, itu bagus, aku hanya mau berbagi kepada teman lama”

“Gini lho wid, kamu mbok ya nyadar, temanmu ini hanya lulusan SD, buku itu bukan untuk kami-kami, mungkin kamu akan membaca dan merasa senang karena kamu tahu apa yang dia omongkan.”

“Emang kamu nggak ngreti?”

“Ya bagaimana mungkin, alam akal sehatmu saja mesthinya kamu ingat, ketika para laskar pelangi sudah membicarakan lagu2 bethoven, aku sampai sekarang gak pernah tahu lagu apaan itu, apakah lebih baik dari didi kempot atau kalah heboh, Ketika lascar pelangi berbicara postulat Einstein, aku gak ngreti apa memang ada teori kayak gitu, aku hanya inget dulu kita di SD belajar angin laut, angin gunung, gerhana matahari, dan it –itu juga yang keluar di Ebtanas. Ketika buku itu bicara perumpamaan laksana menara kembar, aku hanya tahu gunung kembar”

Menghela napas sebentar kemudian dia melnajutkan lagi “Ketika mereka bermain tabla hingga 30 tabla, juga ada latihan band, kita tahu jaman kita yang sudah tahun 90an saja hanya bisa membayangkan alat-alat musik itu.. sekolah miskin tapi punya alat musik sebanyak itu, maaf Wid buku itu Cuma jadi tertawaan buat orang kayak aku yang benar2 miski”

Aku terhenyak, sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya hal itu muncul dari otak Kunthing, dari dulu Kunthing memang anak yang pragmatis. Sebenarnya aku berbagi buku itu agar ada semangat meraih lebih buat dia, namun justru aku yang diceramahi.

“Mungkin mereka beruntung Ting, punya guru yang berdedikasi” lanjutku

“Iyah kamu benar Wid, nasib kita lebih tragis, punya empat guru untuk satu SD untuk ratusan siswa, dan dari empat guru hanya satu yang lulusan SPG, sekolah pendidikan guru, tiga lainnya adalah Guru benteng Pancasila, kalau mereka berkualitas, tak mungkin kamu mogok sekolah dulu.”

Hehhe, kunthing benar, laskar pelangi sangat beruntung punya guru yang berdedikasi, kami dulu punya empat guru, 3 diantaranya adalah guru benteng pancasila, guru yang hanya bermodalkan “setia pada Pancasila” demi kepentingan politik orde baru, padahal guru-guru ada yang bahkan Sekolah Rakyat saja tidak lulus.

Saking parahnya kami dulu mogok sekolah, gara-gara seorang guru mengoreksi hasil ujian Catur Wulan dengan ngawur, jawabannya hampir nggak ada yang benar, sementara kami tahu persis kalau guru itu ngawur karena semua materi ada di buku pelajaran..

“Bukan hanya guru Wid, nasib mereka juga lebih baik, diantara mereka ada yang kuliah bahkan sampai di luar negeri, sementara kita yang sekolah di atas tahun 90an disini, hanya bisa melihat dengan kagum para mahasiswa yang KKN di desa kita, desa kita baru melahirkan sarjana tahun 2005. Diantara mereka ada yang jadi ketua DPRD, diantara kita nggak ada satu pun yang sekedar jadi ketua RT, diantara mereka ada yang jadi tokoh seni budaya, kita hanya punya teman yang ahli kuda lumping dengan nasib yang terus menerus nungging tidak jelas”

“Betul Thing, mereka jauh lebih beruntung daripada kita.”

“Hidup itu relaistis Wid, jangan kira orang sperti aku tidak punya keinginan lebih, tapi kami realistis, daripada mimpi terus menerus, lebih baik kita bangun tidur dan menjalani hidup. Kita semua mungkin gagal meraih pendidikan yang cukup, tapi kita bisa hidup, bisa bekerja, punya tenaga, tangan dan kaki yang bisa kita pake untuk jadi buruh, dan itu yang aku lakukan, aku dibutuhkan untuk mengerjakan sesuatu yang lain”

“Seperti Lintang di laskar pelangi?” tanyaku

“Betul, nyatanya kita hidup bersama ratusan Lintang disini, kalau tidak dibilang semuanya. Hidup harus realistis. Menjalani apa yang kemudian harus dijalani, atau mengejar mimpi dan mengorbankan kewajiban kita kepada keluarga, mencari nafkah, membantu menafkahi keluarga, kita ada bersama ratusan Lintang, di desa kita ini juga”

“Iya thing, ada ratusan Lintang disini” sedikit bergumam aku menatapdia

“Dengar-dengar filmnya ditonton presiden dan menteri-mentrinya, juga menjadi perhatian banyak orang di kota-kota, semoga mereka semua tidak hanya mendapat mimpi dari laskar pelangi, tapi menjadi lebih realistis bahwa ada jutaan Lintang yang harus ditolong, mereka tidak hanya bisa bersimpati dan terinspirasi, tapi juga segera berbuat yang nyata, mereka tidak hanya bermimpi bahwa Lintang seharusnya tidak demikian, tapi mereka bisa berbuat untuk menolong Lintang-Lintang lainnya, tahun depan anakku masuk sekolah, tentunya aku berharap dia bisa lebih berpendidikan dari bapaknya, itu hanya bisa terjadi kalau ada kebijakan yang nyata, bukan mimpi.. Aku berharap mereka yang mengagumi tidak hanya berhenti mengagumi, tapi berbuat nyata.”

Aku terhanyak, “kamu punya mimpi juga kan Thing?” batinku. Hidup ini relaistis, kamu benar Thing, pesimis dan optimis hanyalah bunga-bunga perasaan, bukan sesuatu yang nyata, yang senyatanya adalah hidup itu relaistis.

“Kamu sendiri selama ini ngapain, Wid? Teman SD kita sudah punya anak, kamu cari istri saja gak bisa, inget umur, gak usah banyak bermimpi” Tanya Kunthing sambil tertawa

Kopi terakhir yang aku sruput terasa makin pahit, jangan-jangan aku belum sadar juga, masih tertidur dan banyak bermimpi. Obrolan sore itu aku belajar banyak tentang realistis terhadap mimpi-mimpi kita.. Didepan teman SDku, seorang buruh tani, aku merasa pemimpi kelas kakap.

Rabu, 19 November 2008

Sedia Payung Sebelum Hujan



Sedia payung sebelum hujan. Peribahasa ini keramat bagiku sewaktu aku SD. Karena inilah peribahasa yang sangat aku hapal, dan menjadi andalan senadainya diminta guru menybutkan salah satu contoh peribahasa. Payung dan hujan memang merupakan bahasa yang mudah dibanding kata-kata lain dalam peribahasa kita yang kadang sulit membayangkan, karena payung gampang ditemukan dan biasa juga mengalami hujan. Jadi dengan pikiran polos nan culun anak SD di pelosok dulu, aku dengan mudah dapat memahami maknanya. Membuat persiapan sebelum terjadi, antisipasi terhadap hal yang mungkin terjadi.

Kali ini aku hendak membicarakan kembali sedia payung sebelum hujan. Bukan sebagai peribahasa, tetapi dalam makna sebenarnya, ada payung dan ada hujan. Memahami payung dan hujan yang bukan sebagai makna kiasan.

Bermula dari perjalanan pulang dari Salatiga ke Jogja, yang harus aku tempuh dengan hujan deras. Karena terserang dingin luar biasa, serta capek dan lapar yang aku rasa, aku menghentikan motorku di sebuah warung makan sederhana. Bukan warung makan bernama sederhana, tapi memang dibangun dengan sederhana. Lumayanlah untuk tempat mampir, sambil menghangatkan badan. Segelas susu jahe, dan ada beberapa jenis gorengan yang masih hangat. Juga obrolan dari dua orang pengunjung warung yang lain. sepertinya bapak-bapak pegawai kalau dlilihat dari seragamnya.

“Sialan hujan gak pernah tahu diri” kata seorang bapak yang ada di bangku pojok. “Tiap hari kehujanan, kalau begini terus, kacau dah kerjaan”

“Bener, tiap hari aku terlambat pulang, gara-gara nunggu hujan reda” sambung temannya yang ada bangku agak tengah

“Nasib, banyak kerjaan yang sudah aku ketik harus diulang, karena kertasnya basah kena hujan”

“Aku juga, sudah brkali-kali aku kena tegur pimpinan, gara-gara di kantor gak pake seragam dan gak pake sepatu.”

“Sama, habisnya seragam dan sepatuku basah sewaktu perjalanan ke kantor, kena hujan, pimpinan mah enak, mondar-mandir pake mobil.”

“Mungkn doa kita kurang kusyuk”

“Maksudnya?”

“Kita kalah sama mbah Wiryo, mbah Wiryo yang lebih tua dari kita, pasti doanya lebih khimad, sehingga dikabulkan”

“Mbah Wiryo berdoa minta hujan?”

“Iyalah, kalau hujan kan banyak yang mampir warungnya, laris tentunya”

“Owh gitu ya, bisa jadi.. gitu ya Mbah?”

Pemilik warung itu senyum-senyum (akhirnya aku tahu kalau mbah wiryo itu pemilik warung ini). “Aku tidak berdoa untuk hujan atau tidak hujan, tapi aku yakin kalau warungku bakal laris kalau masih ada orang sebodoh kalian.” Ucapannya mengejutkan

Kedua orang tamunya tampak terbengong, mbah Wiryo kemudian melanjutkan petuahnya “Hujan itu kodrat alam. Kita tidak bisa melawannya. Menolak atau menghendaki hujan kita tidak bisa. Jika musim hujan seperti sekrang ini maka hujan aalah hal yang lumrah”

Kedua orang itu masih terbengong, mbah Wiryo menghisap rokoknya dalam2, dengan senyum sedikit dia melanjutkan lagi “Sesuatu yang di luar tidak bisa kita ubah, tapi kita bisa mengubah cara kita bertindak untuk menyikapi kondisi di luar kita. Kalu hujan ya bawa jas hujan, kan beres, ngapain ribut?” bergumam sepentar sambil sedikit mendseis, kemudian orang tua itu melanjutkan lagi “Kertas ya simpan pake plastik atau apa yang tidak tembus air, berangkat pake sandal dan kaos, seragam kantor dan sepatu dipake di kantor, bisa kan?”

Dua orang itu nampak terdiam dan mcoba mmberi argument terkahir “Tapi mbah, kan ribet?”

“Ya kalau gak mau ribet terima saja resikonya, gak usah nggerundel!” Mbah wiryo dengan kata-kata kemenangan.

Sambil nyruput susu jaheku, kata-kata mbak Wiryo tadi menggerakkan akal sehatku untuk menyimpan dalam memori otakku. Bagus banget, kita sering sekali marah, jengkel, pada sesuatu yang terjadi di luar diri kita, sehingga lupa bahwa kita punya pilihan tindakan, pilihan jalan untuk menghadapinya. Kita terbisa melihat keluar, dan lupa menata diri kita.