Sebuah obrolan terjadi suatu pagi, di warung burjo (bubur Kacang ijo) dekat dengan rumah. Sambil makan Burjo, seorang bapak mengomel terus.
“Benar-benar hari ini kerasa ngantuk, kurang tidur?” kata si Bapak
“Kenapa pak? Lembur?” Pemilik Warung menanyakan ke Bapak itu
“Bukan.. semua gara2 kucng sialan”
“Lha kenapa? Emang kucingnya nyuri makanan Bapak?”
“Bukan.. semalaman kucing peliaranku berisik banget, meang meonggg melulu, lagi musim kawin, wuah dasar kucing sialan!”
“Lhaa terus?”
“Iya, meang mong kejar2an kesana kemari di semua plafon, Hasilnya hari ini ngantuk banget.”
Begitulah selama aku makn isitu, gak ada cerita lain sedikitpun, pokoknya di dominasi oleh kejengkelan terhadap kucing meang meong
Tiba-tiba aku ingat terhadap kepolosan anak tetangga yang masih TK, ketika latihan untuk pementasan drama anak2 beberapa waktu lalu di Balai Desa. Latihan untuk pementasan agustusan. Dia yang harusnya meragakan anjing malah bersuara meong dengan kerasnya, kontan saja semua yang nonton latihan itu menjadi tertawa.
Benar, semua orang tahu, kucing adalah satu-satunya binatang yang bersuara meong. Gak ada binatang lain yang bersuara meong. Kalau demikian, ketika kita mendengar dan melihat ada kucing bersuara meong kenapa kita mesthi marah? Tentunya kita heran dan marah kalau kucing kita bersauara guk guk atau mbekkkk.. Bukankah dari dulu kucing memang sudah bersuara meong?
Terus, kalau kita sudah tahu kucing bersuara meong dan kalau musim kawin, mengapa juga pelihara kucing?
Tidak sadar kita kadang menjadi makhluk egois. Kadang kita menjadi sewot, jengkel dengan menyalahkan sesuatu yang luar diri kita sebagai sebabnya. Padahal kita marah, kalau diteliti lagi bukan karena meongnya si kucing, bukan karena si kucing kawin, tapi karena ego kita, yang kenyamanan kita terganggu. Sumber marah itu, lebih tepat ada di dalam diri kita. Suara kucing dan apapun yang diluar hanya kondisi yang mendorong saja.
1 komentar:
Nggak sih, Mbah...Pengen kawin juga, tp malu dengan kucingnya :D
*kabur*
Posting Komentar