Sedia payung sebelum hujan. Peribahasa ini keramat bagiku sewaktu aku SD. Karena inilah peribahasa yang sangat aku hapal, dan menjadi andalan senadainya diminta guru menybutkan salah satu contoh peribahasa. Payung dan hujan memang merupakan bahasa yang mudah dibanding kata-kata lain dalam peribahasa kita yang kadang sulit membayangkan, karena payung gampang ditemukan dan biasa juga mengalami hujan. Jadi dengan pikiran polos nan culun anak SD di pelosok dulu, aku dengan mudah dapat memahami maknanya. Membuat persiapan sebelum terjadi, antisipasi terhadap hal yang mungkin terjadi.
Kali ini aku hendak membicarakan kembali sedia payung sebelum hujan. Bukan sebagai peribahasa, tetapi dalam makna sebenarnya, ada payung dan ada hujan. Memahami payung dan hujan yang bukan sebagai makna kiasan.
Bermula dari perjalanan pulang dari Salatiga ke Jogja, yang harus aku tempuh dengan hujan deras. Karena terserang dingin luar biasa, serta capek dan lapar yang aku rasa, aku menghentikan motorku di sebuah warung makan sederhana. Bukan warung makan bernama sederhana, tapi memang dibangun dengan sederhana. Lumayanlah untuk tempat mampir, sambil menghangatkan badan. Segelas susu jahe, dan ada beberapa jenis gorengan yang masih hangat. Juga obrolan dari dua orang pengunjung warung yang lain. sepertinya bapak-bapak pegawai kalau dlilihat dari seragamnya.
“Sialan hujan gak pernah tahu diri” kata seorang bapak yang ada di bangku pojok. “Tiap hari kehujanan, kalau begini terus, kacau dah kerjaan”
“Bener, tiap hari aku terlambat pulang, gara-gara nunggu hujan reda” sambung temannya yang ada bangku agak tengah
“Nasib, banyak kerjaan yang sudah aku ketik harus diulang, karena kertasnya basah kena hujan”
“Aku juga, sudah brkali-kali aku kena tegur pimpinan, gara-gara di kantor gak pake seragam dan gak pake sepatu.”
“Sama, habisnya seragam dan sepatuku basah sewaktu perjalanan ke kantor, kena hujan, pimpinan mah enak, mondar-mandir pake mobil.”
“Mungkn doa kita kurang kusyuk”
“Maksudnya?”
“Kita kalah sama mbah Wiryo, mbah Wiryo yang lebih tua dari kita, pasti doanya lebih khimad, sehingga dikabulkan”
“Mbah Wiryo berdoa minta hujan?”
“Iyalah, kalau hujan kan banyak yang mampir warungnya, laris tentunya”
“Owh gitu ya, bisa jadi.. gitu ya Mbah?”
Pemilik warung itu senyum-senyum (akhirnya aku tahu kalau mbah wiryo itu pemilik warung ini). “Aku tidak berdoa untuk hujan atau tidak hujan, tapi aku yakin kalau warungku bakal laris kalau masih ada orang sebodoh kalian.” Ucapannya mengejutkan
Kedua orang tamunya tampak terbengong, mbah Wiryo kemudian melanjutkan petuahnya “Hujan itu kodrat alam. Kita tidak bisa melawannya. Menolak atau menghendaki hujan kita tidak bisa. Jika musim hujan seperti sekrang ini maka hujan aalah hal yang lumrah”
Kedua orang itu masih terbengong, mbah Wiryo menghisap rokoknya dalam2, dengan senyum sedikit dia melanjutkan lagi “Sesuatu yang di luar tidak bisa kita ubah, tapi kita bisa mengubah cara kita bertindak untuk menyikapi kondisi di luar kita. Kalu hujan ya bawa jas hujan, kan beres, ngapain ribut?” bergumam sepentar sambil sedikit mendseis, kemudian orang tua itu melanjutkan lagi “Kertas ya simpan pake plastik atau apa yang tidak tembus air, berangkat pake sandal dan kaos, seragam kantor dan sepatu dipake di kantor, bisa kan?”
Dua orang itu nampak terdiam dan mcoba mmberi argument terkahir “Tapi mbah, kan ribet?”
“Ya kalau gak mau ribet terima saja resikonya, gak usah nggerundel!” Mbah wiryo dengan kata-kata kemenangan.
Sambil nyruput susu jaheku, kata-kata mbak Wiryo tadi menggerakkan akal sehatku untuk menyimpan dalam memori otakku. Bagus banget, kita sering sekali marah, jengkel, pada sesuatu yang terjadi di luar diri kita, sehingga lupa bahwa kita punya pilihan tindakan, pilihan jalan untuk menghadapinya. Kita terbisa melihat keluar, dan lupa menata diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar