Saya punya
sahabat baik yang sedang giat sekali memulai usaha warung makan. Segala cara
dan usaha dilakukan untuk mengenalkan warungnya kepada teman dan sahabat yang
lain. Salah satu usaha yang dilakukan adalah selalu meminta kontak blackbeery
messenger. Semua kontak di bbm ini, akan diberi broadcast tiap hari tentang
menu andalan yang disediakan pada hari tersebut.
Ada peristiwa menarik dan lucu dari kejadian
broadcast ini. Suatu hari, menu andalan yang disediakan adalah jangan ndeso, sayuran ala desa maksudnya.
Tentu saja, broadcast yang dikirim pun tertuliskan “jangan ndeso”. Salah satu
teman yang mendapat broadcast tersebut rupanya kurang berkenan. “mohon maaf
pak, kalau selama ini tindakan saya ndeso, kalau emang saya dianggap ndeso dan
kurang berkenan ya silakan, saya tidak bermaksud demikian!” jawaban dari
broadcast tersebut.
Ya begitulah,
kesalahan pahaman ketika kita menerima informasi kadang bermula dari ketidak
mampuan diri kira melihat kata, kalimat atau ucapan diluar apa yang kita
pikirkan tentang makna dari kata, kalimat atau ucapan tersebut. Kita telah
terlatih menerima makna “sesuatu” lewat
indera kita, mencerapnya, dan cerapan dari ilmu, lingkungan, pengetahuan,
budaya dan pengaruh2 lainnya itu membentuk perasaan yang pada akhirnya
membangun kesadaran tentang “sesuatu” itu.
Contohnya
adalah, kata jangan dan ndeso tersebut. Mungkin terbiasa dengan kata “jangan”
berdasarkan pencerapan, pengetahuan dan kesadaran terbangun dalam diri bahwa
jangan itu maknanya ya “jangan, tidak boleh”. Ndeso, dipahami sebagai “rendah,
jadul, kurang maju dll” padahal makna lain bisa dipahami sebagai sesuatu yang
bernuansa pedesaan.
Penting kiranya
bagi kita untuk untuk mawas diri, ketika menerima ucapan, atau memahami
kata-kata. Jangan-jangan persepsi yang kita bangun dalam diri kita terhadap
“sesuatu” adalah hasil dari penerimaan, dan pencerapan kita dari lingkungan,
ilmu pengetahuan tradisi dan budaya yang terus menerus kita terima. Mungkin ada
yang lain di luar apa yang kita pahami terhadap makna dari “sesuatu” itu. Lebih
parah kan
kalau “sesuatu” itu dipahami sebagi hal yang benar, dan ternyata ada kebenaran
yang lain, yang kita tidak tahu semata-mata karena kita tidak mendapat
pencerapan pengetahuan, lingkungan, ilmu yang lain. (saya tidak mengatakan
“jangan ndeso!” terhadap sikap seperti ini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar