Cerita ini sudah lama saya dapatkan. Kalau tidak salah saya membacanya pada sebuah majalah anak-anak sewaktu masih SD. Lama cerita ini mengendap dalam pikiran saya sampai kemudian teringat kembali ketika mendengar irama yang dihasilkan tukang kayu yang bekerja memperbaiki rumah tetangga, sewaktu memaku. Ingatan akan cerita ini kembali muncul, setidaknya demikianlah yang saya ingat.
Pada suatu waktu, hiduplah seorang kakek dengan cucunya. Cucunya ini sangat nakal sehingga sering membuat keonaran. Setiap saat dinasehati, namun selalu diulang lagi. Sampai pada satu ketika, si kakek mempunyai ide, untuk melatih cucunya dengan agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Si kakek meminta cucunya, apabila membuat kesalahan, kenakalan, ataupun kejahatan, maka diharuskan menancapkan paku di tiang kayu belakang rumah. Apabila cucunya berbuat kebaikan, maka paku tersebut boleh dicabut. Demikian seterusnya, maka si cucu tiap hari kebanyakan memaku terus, karena masih sering berbuat keonaran dan kesalahan. Hanya sedikit paku yang dicabut, karena memang hanya sedikit kebaikan yang bias dia lakukan.
Melihat jumlah paku yang makin banyak, cucu tersebut manjadi panik, sehingga dia mulai mengubah sikapnya, untuk melakukan banyak kebaikan. Sedikit demi sedikit paku-paku yang telah tertancap berkurang, hingga pada suatu ketika tiang kayu tersebut bersih dari paku.
Si cucu menunjukkan hal tersebut kepada kakeknya. Kakeknya tentu saja tersenyum senang namun tetap mengingatkan kepada cucunya, bahwa tiang tersebut tetap menunjukkan bekas paku, meski pakunya sudah tercabut. Tiang kayu tersebut tetap tidak bisa pulih seperti sediakala.
Cerita itu mungkin sederhana, namun bagi saya tidak. Cerita tersebut menggambarkan bahwa setiap kesalahan, kejahatan, ketidakbaikan, memiliki efek yang panjang, dan kita tidak dengan mudah melarikan diri, atau menghindar dari akibatnya. Bhakan ketika kita sudah melakukan begitu banyak kebajikan saja, akibat dari kesalahan dan kejahatan kita tetap harus kita tanggung.
Setiap bentuk perbuatan akan menimbulkan akibat, hal ini adalah hukum universal yang berlaku dimana saja, lintas waktu, lintas batas. Tak akan ada yang bisa menghindar dari akibat perbuatan kita, entah baik, maupun buruk. Jika demikian maka alangkah pentingnya kita menjadi waspada, terjaga dari setiap niatan kejahatan, sekecil apapun. Karena setiap bentuk kejahatan pasti akan berakibat yang bahkan tidak akan bisa dihindari meski kita sudah bertobat, atau kita sudah menjadi suci dengan kebajikan kita.
Sangat naïf juga jika kita menyandarkan pada ampunan. Setiap kesalahan kita kemudian meminta ampunan kepada Yang Maha Kuasa. Sikap yang demikian akan membiasakan kita pada kesalahan-kesalahan karena kita akan berkesempatan meminta ampunan. Akibat dari satu perbuatan tak bisa dihindari, hasil dari kejahatan juga sangat kompleks. Apakah ketika kita meminta ampunan akan mampu mengembalikan keadaan seperti semula? Apakah akan menghindari dari sikap permusuhan dan kebencian dari pihak lain? Apakah akan bisa mengembalikan kerugian spiritual dan duniawi dari pihak yang m,enjadi objek kesalahan dan kejahatan kita? Nyatanya tidak. Meminta ampunan hanyalah sarana untuk mengingatkan niatan kebaikan kita, tapi tak akan bias menghilangkan bekas paku dari kejahatan kita.
Cerita sederhana tentang kakek dan cucunya tersebut, adalah gambaran sederhana dari sikap kita, pikiran kita, ucapan kita, yang semesthinya harus terjaga setiap saat. Sesepuh di kampung saya berkali-kali mengatakan, sakbeja-bejani wong kang lali isik beja wong kang eling lan waspada. Seuntung-untungnya orang yang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada.
*ketika sadar kata maaf saja tak cukup untuk kesalahan, mohon maaf lahir batin...