Selasa, 01 Desember 2009

Kisah Tiga Orang

Berikut aku kisahkan tiga orang yang sungguh membuat aku merasa beruntung pernah ketemu dengan mereka, tiga orang yang menjadikan aku belajar tentang arti penting respek dan kejujuran, dan sikap rela melepas.

Tentang anak kecil yang baik hati

Suatu siang pergi ke rumah salah seorang teman. Beliau sudah berkeluarga, dan mempunyai seorang anak perempuan, berusia 6 tahun. Beliau orang yang sangat sederhana, bekerja keras dengan keliling memasarkan barang-barang plastik, seperti sandal, perabotan plastik dll. Hanya bermodalkan motor, rute luar kota bukanlah hal sulit, selalu ditempuh. Rumah yang ditanggalinya pun masih mengontrak.

Obrolan siang itu, aku lakukan sekedar untuk mempererat persaudaraan semata. Apalagi anak perempuannya adalah muridku di les-lesan. Kejutan terjadi ketika berpamitan pulang, anak perempuan itu memberikan coklat kepadaku :

“Om, nih coklat buat Om

“wuah, terimakasih, kamu baik hati”

“ iya Om, aku punya dua coklat, satu untukku, satu untuk Om, ini coklat kesukaanku, enak lho..”

Aku terhenyak. Setahuku dia masih punya beberapa makanan dikantongnya. Kita yang merasa dirinya dewasa, sering melakukan pemberian, berdana, berderma atas dasar alasan kebaikan. Namun, jarang ditemukan yang membagikan kesenangan kita, yang membagi sebagian yang “melekat” pada kita. Memberi sebenarnya bukan semata-mata berbuat baik, namun adalah latihan melepas, melepas ego kita. Kali ini aku ditunjukkan bagaimana anak kecil melepas kesenangannya untuk dibagikan, meski dengan kondisi yang sebenarnya tidak menguntungkan.

Kejadian di warung makan

Kejadian kedua adalah ketika makan siang pada suatru hari. Di warung makan ini, pembeli mengambil dulu sesukanya kemudian di bawa ke kasir, setelah membeyar, barulah menikmati makannya

Lagi mendapat dua cendok, kasir itu mendatangiku :

“Maaf mas, tadi salah hitung, kembalian dari kami kurang, ini kurangnya, sambil memberikan 4 lembar ribuan.”

Tentu saja aku kaget, betapa tidak, toh aku bukan pelanggan tetap warung itu, dan gak hafal harga-harga makanan. Pembayaran yang diawal pun sebenarnya menurutku wajar. Aku sama sekali tidak tahu kalau telah membayar lebih. Namun dengan kejujurannya, Ibu itu telah mengembalikan kelebihannya.

Teriakan Penjual Bensin

Setiap seminggu sekali, aku melewati jalan berliku dan menanjak di sekitar Merapi- Merbabu untuk urusan tugas. Karena kurang persiapan, motorku kehabisan bensin dan terpaksa beli bensin eceran untuk motorku, karena memang tidak ada SPBU di daerah itu.

Penjualnya adalah remaja putri, putus sekolah. Setelah proses pengisian berlangsung, aku menyerahkan sepuluh lembar ribuan, sesuai harganya.

Begitu aku mulai jalan, penjual itu teriak, “Mas.. uangnya kelebihan”

Aku balik, dan dia kemudian menyerahkan selembar uang ribuan, lagi-lagi aku ketemu dengan sikap kejujuran. Kalaupun dia diam, aku juga tidak akan tahu kalau uangku berlebih. Jelas ini adalah kejujuran yang tidak dipaksakan.

Tiga orang tersebut, menunjukkan sikap kejujuran. Memberikan aku pelajaran. Mereka, yang bahkan bukan siapa-siapa, orang-orang biasa, menumbuhkan rasa optimisku bahwa kejujuran itu masih bisa dilakukan. Di tengah krisis negara akan kejujuran, ketika orang-orang yang seharusnya menjadi teladan justru dipertanyakan sikap dan integritas akan kejujurannya, orang-orang itu telah menunjukkan secara langsung apa itu kejujuran. Semoga saja kejujuran orang-orang biasa itu tidak dianggap polos dan dimanfaatkan oleh orang lain, sehingga yang jujur akan ajur, akan hancur.

Biarlah yang makmur ada pada mereka yang jujur.