Minggu, 12 April 2009

Rahib Muda dan Kopi Nimatnya




Tersebutlah di sebuah Biara atau Vihara Buddha, di tengah Hutan Thailand. Di Thailand, vihara semacam ini memang sangat banyak. Ada ratusan rahib atau Bhikkhu yang tinggal di Vihara tersebut.


Adalah menjadi tradisi dari kehidupan para Bhikkhu, bahwa kebutuhan mereka di topang oleh umat awam. Menjadi istimewa apabila pada hari-hari tertentu umat akan memberikan dana makan yang istimewa.Di Vihara tersebut, setiap awal bulan akan mendapat kiriman kopi. Sehingga minum kopi adalah acara yang istimewa. Seorang Bhikkhu muda bahkan sangat menantikan hari itu tiba. Betapa tidak, setelah seharian baraktifitas, sore hari berdiskusi dan pada akhir diskusi akan ada kopi hangat. Sebulan sekali lagi. Tak terbayang bagaimana rasanya minum kopi itu, harumnya, kentalnya, nikmatnya, aromanya, membayangkan saja sudah mengundang selera.


Pada satu bulan tertentu. Hari yang ditunggu tiba juga. Bhikkhu muda itu sudah tak sabar membayangkan bagaimana sore ini bakal menikmati kopi yang hanya dapat di nikmati sebulan sekali. Hmmm


Diskusi yang diadakan terasa panjang, karena yang ada dipikirannya adalah jam minum kopi. Wajah makincerah ketika kopi-kopi sudah disiapkan oleh umat untuk mereka. Bagi Dia, diskusi panjang lebar itu mendapatkan satu kesimpulan, yaitu saatnya minum kopi. Di hadapan satu Bhkkhu sekarang tersedia satu cangkir kopi, masih panas, dan aromanya jelas tercium.


Ketika acara minum kopi sudah siap, tibalah menunggu Bhikkhu senior, gurunya, mempersilahkan untuk minum kopi. Adalah bagian dari etika bahwa mereka yang senior akan mempersilakan terlebih dahulu atau minum terlebih dahulu. Bhikkhu muda itupun dengan mantap memandang Bhikkhu senior, gurunya. Baginya jelas, begitu dipersilahkan maka reflek untuk segera menyambar kopi didepannya.


Satu menit, dua menit, tiga menit, lima menit… hingga sepuluh menit, sang guru hanya senyum-senyum memandangi mereka semuanya. Mungkin menunggu agak dingin.. batinnya, dengan senyum yang terkembang membalas senyum gurunya.


Lima belas menit berlalu, sang guru masih senyum-senyum saja. Kegelisahan pun mulai muncul, ada apa ini? Kopi itu bakal hambar, gak nikmat lagi, senyumnya pun mulai hambar.


Dua puluh menit berlalu, wah ini guru emang payah, gak tahu kesukaan muridnya, benar-benar guru gak punya kasih... pikiran pikiran jelek tentang gurunya pun mulai bermunculan. Setiap dia melihat gurunya tersenyum kepadanya, senyum masam yang dia balas, dengan wajah yang sudah kemerahan nahan marah.


Setengah jam kemudian semua doa buruk buat gurunya sudah dia bacakan, seyum masamnya gak bisa disembunyikan lagi, sudah cemberut yang dia berikan kepada sang guru. Hal-hal buruk tentang gurunya dia ingat detail, serasa menjadi alasan kenapa dia harus tidak suka kepada gurunya. Hal-hal baik tentang gurunya sudah hilang tak tersisa. Gak ada senyum lagi untuk membalas senyum gurunya.


Menunduk dia melihat kopi yang sudah menjadi dingin dan tak beraroma. Uhh.. satu demi satu dia meikirkan kopi itu, aromanya sudah hilang, dari panas menjadi dingin, dan mulai kehilangan selera un tuk meminumnya.

Dia kemudian meandang gurunya baik, seorang bhikkhu tua, kurus, dan jelek. Penyebab daris egala keacaun dalam acara minum kopi. Guru yang pantas untuk dibenci. Kemudian dia meliaht kopi lagi, dan gurunya secara bergantian. Senyum guru itu, bukankah sudah ada jauh sebelum ada kopi terhidang?


Kopi, ah setelah diminum rasa kopi itu juga hilang, hambar lagi, hanya memberi kenikmatan sesaat. Seandainya tidak minum kopi pun seperti hari biasa, dia tidak akan mendapat musibah.

Kemudian gurunya diliatin lagi, dan dia sadar, seandainya tidak ada jam minum kopi, mungkin dia tak akan membecakan doa buruk buat gurunya. Seandainya tak ada niatan minum kopi, senadainya tak memandang kopi sebagai hal yang istimewa, seandainya keinginan itu disikapi biasa saja..


Dia makin sadar, dari kopi yang tak terminum, dia bisa membenci banyak hal, dan menimbulkan pikiran buruk, keinginan buruk untuk orang lain. Betapa liarnya pikiran itu seandainya tak dikenali dan tak terkendali.

Akhirnya dia mengerti persis pelajaran dari gurunya sore ini, dengan mantap dia tersenyum kepaad gururnya, senyum yang sangat manis, yang diliputi kegembiraan luar biasa. Ketika kemudian gururnya melihat dengan senyum, dia berkata.. “Aku mengerti Guru, tentang pelajaran sore ini”

Sang Guru pun tersenyum lebar “ Silakan diminum kopinya…”


Kopi yang dia minum sore ini, terasa sangat nikmat, meski sudah sangat dingin dan tak beraroma.


Cerita ini saya dapatkan dari seorang teman, bernama Pak Himawan, dalam sebuah obrolan menghabiskan malam bersama beberapa teman. Mungkin apa yang saya ceritakan disini tidak akan mewakili sepenuhnya, karena saya mendapatkan cerita ini secara lisan, sehingga mimik wajah, gerakan dan ekpresi sangat menunjang cerita ini.